Skip to main content

Pesta Demokrasi, Pesta Rakyat? Bah!

Mencermati politik baku caci, baku hujat dan baku tikam yang dipertontonkan pada Road To DKI1, jargon-jargon kosong yang digelontorkan para Pasangan Calon pada setiap kesempatan tidak lebih dari kalimat-kalimat sampah yang dipaksakan sebagai argumen tentang kepemimpinan. Campur aduk konteks kepemimpinan (leadership) dengan kemampuan mengelola (management) yang agaknya tidak dipahami oleh para Pasangan Calon serta rombongan pendukung masing-masing, menunjukkan kebangkrutan politik Indonesia. Kesempatan besar perombakan besar-besaran melalui Reformasi sudah lama terlewat. Bongkar pasang aturan, prosedur dan tata-kerja politik dan birokrasi yang didorong seperti halnya Ledakan Dahsyat (Big Bang) saat itu, sama sekali tidak menyisakan bekas atau ampas-ampasnya saat ini. Indonesia saat ini berada pada situasi mirip ketika sekelompok kera di hutan berproses memilih pemimpin mereka.
Calon pemimpin kera adalah yang merasa dirinya paling cakap, paling berani dan paling kuat untuk menghadapi inkumben, yang biasanya adalah kera tua dan sakit-sakitan tetapi masih memiliki teriakan lantang dan punya pengaruh di hadapan massanya. Betul. Pada kelompok binatang itu batas masa jabatan adalah usia dan kesanggupan fisik. Setiap saat si pemimpin inkumben terus menghadapi percobaan alih jabatan ketika ada seekor atau lebih kera muda mencoba menjajal kemampuan, kecakapan dan kekuatannya untuk mengambil alih tahta. Tahta yang diperebutkan sedikit urusannya dengan kepentingan dan kemaslahatan warga kelompok. Tetapi erat hubungannya dengan hak-hak istimewa (privilege) yang akan dinikmati selama kera itu mempertahankan tahtanya. Pergantian pemimpin pada panggung drama politik kera ini adalah proses yang keras dan berdarah-darah, sebuah panggung permaluan, yang sama sekali tidak melibatkan warga pendukung (konstituen).

Pemimpin kera sebagai alegori untuk konteks politik Indonesia tidak dipersonifikasikan sebagai sosok seseorang sebagai individu yang memegang tahta secara resmi. Tetapi dia bisa menjadi bayang-bayang bagi pemimpin resmi atau sebagai patron di belakangnya. Karena ini bicara tentang usaha dan kerja-kerja mempertahankan dan melestarikan hak-hak istimewa. Kera-kera muda yang merasa cakap dan kuat untuk menggantikan pemimpin inkumben pun adalah alegori dari dinamika kepentingan elit yang secara terus-menerus melakukan reproduksi massa pendukung, sebagai sebuah ekspresi dan artikulasi kekuatan. Meskipun, mungkin, proses perebutan tahta tidak harafiah menggambarkan hal sama dengan perebutan tahta di kelompok kera, tetapi luka politik yang timbul dan tersisa dari siklus-siklus politik demokratik tersebut akan menjadi amunisi serangan bagi pihak yang kalah terhadap pihak yang menang. Selain ingin membayar janji kepada para pendukung, berupa usaha tak kenal lelah bahwa pihak yang menang tidak pantas mendapatkan tahta, hal itu juga menjadi bagian dari tahap pemanasan dari siklus politik demokratik untuk maju lagi menjajal kekuatan mereka.

Memegang tahta bagi rombongan politisi di Indonesia adalah kesempatan memenangkan kepentingan para elit menggunakan argumen kepentingan publik. Rakyat tidak lebih dari sekedar Terms of Reference (ToR) atau Kerangka Acuan. Bagi mereka Rakyat sama sekali bukan Terms of Address (ToA) atau Kerangka Distribusi Manfaat. Rakyat menjadi penting sebagai penyumbang suara pada siklus politik demokratik. Selebihnya tidak lebih dari faktor tidak langsung dan tidak penting dari penyelenggaraan mesin-mesin birokrasi dan politik yang terus mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetesan-tetesan manfaat yang tidak tersebar merata berupa lapangan kerja dan kemanfaatan sekunder dari infrastruktur pelayan industrial.

Pesta Demokrasi adalah Pesta Rakyat? Bah!

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.