Skip to main content

Malu, Kemaluan, Kemakluman


Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Orang-orang yang gemar tampil, selalu mencari panggung, tidak akan pernah punya rasa malu ketika mereka harus berganti topeng beberapa kali. “Wong ini cuma acting!” Begitu argumen mereka. Tetapi akan menjengkelkan jika pertunjukkan panggungnya merugikan khalayak luas dan hanya menguntungkan segelintir orang yang selama ini menjadi sponsor dan pendukung actor itu. Namun begitulah pemahaman umum yang diterima luas, bahwa ini cuma perkara acting di atas panggung, bukan sebagai tugas melayani khalayak.

Ketika orang-orang itu harus melakukan adegan syur di atas panggung, mereka akan gunakan argumen, “Itu sekedar acting, dan itu pun atas nama keutuhan cerita….” Tetapi ketika tiba gilirannya adegan berbahaya, maka orang-orang itu pun menuntut agar adegan itu dilakukan oleh para pemeran pengganti (stunts) dengan imbalan dan bayaran ala kadarnya. Antrian para pemeran pengganti cukup panjang. Entah itu karena alasan perut, atau bolehjadi karena hobby melakukan adegan berbahaya. Penonton pun paham bahwa yang melakukan adegan berbahaya bukanlah para actor yang selalu tampil kinclong, bingar dan wangi. Para actor itu pun tidak malu-malu mengakuinya. Sebuah rangkaian situasi penuh kemakluman. Begitu permisif.

Ehem. Maaf, saya sedang tidak bercerita tentang dunia teater. Saya sedang asyik menggunakan metafora untuk bercerita tentang situasi politik mutakhir di Indonesia, terutama terkait rangkaian Pilkada serentak hingga nanti Pilpres di tahun 2019. Situasi di mana khalayak luas dituntut kemaklumannya untuk menerima semua pertunjukkan panggung demokratik yang senantiasa menghina akal sehat mereka yang merenung dan berpikir. Panggung demokrasi yang mempertontonkan kemaluan tanpa rasa malu, dan berharap kemakluman khalayak luas. Begitulah…

Jakarta, 24 Mei 2017

Comments

  1. itulah golongan orang-orang yang antara ucapan dan tindakannya tidak sama

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.