Skip to main content

Perangkap Raksasa: Kekuasaan

Ribuan orang menangis di muka penjara: Mengapa dia dipenjara, sementara bajingan-bajingan lain yang sudah membangkrutkan Rakyat dan ruang hidupnya dibiarkan meraja-lela? Argumen agama pun digunakan. Argumen yang sejak dulu menjadi identitas politik elit-elit digunakan untuk beragam tujuan dan kepentingan, dari yang baik hingga yang busuk. Argumen agama digunakan secara bertingkat: Mulai dari penghinaan agama, solidaritas umat agama, hingga argumen rasis yang diselipkan secara pintar hingga orang Indonesia yang malas berpikir pun terbuai dan ikut bergabung dalam rombongan penghujatan. Dan itu semua sesungguhnya hanya bicara tentang satu hal: Siapa lebih berhak berkuasa…
Konstruksi logika tentang kekuasaan yang saat ini sudah direduksi sedemikian rupa sehingga orang dimanjakan agar tidak perlu merenung dan tidak perlu berpikir mendalam. Jika perlu rangkaian pesan dengan konstruksi logika sederhana itu ditampilkan dan diperwakilkan oleh gambar-gambar serta pearagaan kasat yang ditujukan untuk menggugah sentimen tertentu. Ciri-ciri pembeda menjadi bahan racikan utama. Segala hal yang berbeda dikonstruksi sedemikian rupa agar dapat berlaku luas untuk menggambarkan sosok lawan politik tampil menjadi sosok jahat yang perlu dilawan bersama. Orang-orang pun hanyut, melupakan strata pendidikan dan sosial yang mereka sandang, masuk ke dalam pusaran-pusaran monolog dangkal tanpa malu-malu. Begitu serupa dengan model komunikasi hegemonik yang dilancarkan industri yang membuat orang membeli sesuatu yang bukan kebutuhannya, yang membuat orang memuja merek dagang tertentu tanpa peduli kegunaannya. Agama sebagai ciri pembeda dengan cantik telah digunakan oleh pelaku industri yang berkepentingan untuk mendapatkan legitimasi politik menguasai wilayah dan warganya untuk tunduk dan patuh, sehingga mereka dapat menangguk keuntungan sebesar-besarnya tanpa dapat dikendalikan siapa pun. 

Pertanyaan buat kita yang merenung dan mau berpikir mendalam, “Bagaimana suatu tatanan pada skala tertentu memang harus dijalankan dengan benar, yang menjamin pemenuhan keselamatan khalayak luas secara tertib dan damai?” Apakah jabatan presiden, gubernur, bupati, walikota, anggota parlemen, dan sebagainya, adalah satu-satunya modalitas untuk menjawab pertanyaan di atas? Pada cakupan yang besar berskala raksasa jabatan-jabatan tersebut dikonstruksikan menjadi satu-satunya modalitas kuasa politik yang berlaku luas. Apabila memang benar, seharusnya jabatan-jabatan tersebut mengutamakan kewajiban dan amanatnya untuk menjawab pertanyaan di atas. Apabila benar, seharusnya mereka yang cenderung mengutamakan keuntungan diri sendiri atau gerombolannya tidak akan tertarik merebut dan menguasainya. Kecuali…. Benar! Kecuali jika memang tujuan merebut dan menguasai jabatan-jabatan tersebut adalah untuk mendapatkan legitimasi politik menguasai wilayah dan warganya untuk tunduk dan patuh, sehingga mereka dapat menangguk keuntungan sebesar-besarnya tanpa dapat dikendalikan siapa pun.

Jangan terkejut apabila, lagi-lagi, kita akan dipertontonkan sandiwara keji dan barbarik skala kolosal pada Pemilhan Umum 2019 nanti. Ini kembali kepada diri sendiri. Apakah kita tidak akan mempedulikan semua gunjang-ganjing adegan di atas panggung politik kekuasaan nanti? Apakah kita akan memilih hanyut, karena tidak punya waktu untuk merenung dan berpikir, sehingga kita cukup melihat pilihan yang paling mudah dikunyah-kunyah? Apakah kita akan meluangkan waktu untuk berpikir mendalam dan merenung? Apakah kita akan saling berdialog dengan sesama warga untuk mengunyah dan mencerna bersama-sama tentang pilihan-pilihan yang sungguh-sungguh dapat dipercaya mampu menjamin pemenuhan keselamatan khalayak luas secara tertib dan damai?

Jakarta, 12 Mei 2017

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.