Skip to main content

Seandainya...

Seandainya kita bisa memilih siapa orang-orang yang kita kenal untuk terus bersepakat, seiya sekata sepanjang masa, mungkin kehidupan di planet ini begitu kering. Meski mereka adalah orang terdekat sekalipun, kenyataannya kita tidak bisa mengendalikan mereka. Berbeda adalah keniscayaan.

Inilah yang sering membuat saya geram. Begitu sering kita disuguhi tutur bodoh orang-orang terkemuka soal berbeda dan perbedaan.

"Negeri kita ini Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi akhir-akhir ini terjadi kecenderungan yang merisaukan, dimana orang dari etnik yang menguasai ekonomi negeri ini sudah mulai masuk ke kancah politik." Tutur si Raja Dangdut, Rhoma Irama, ketika tampil di Mata Najwa beberapa waktu lalu, terkait dengan wacana pencalonannya untuk mengukuti Pilpres 2014.

Saya tidak melihatnya sebagai pernyataan yang mengkhawatirkan atau membahayakan. Membahayakan siapa? Pernyataan itu menggambarkan tingkat dan kualitas intelektualitasnya. Justru yang membuat geram adalah, mengapa seorang Najwa Shihab mau membuang waktu para penonton dengan menampilkan wawancara yang menghina akal sehat publik?

Namun, sekali lagi, kuasa tidak ada di tangan kita. Kita tidak bisa memilih, dan kita tidak bisa pula mengatakan kita telah di-faith accomply. Jika kita sungguh menghormati perbedaan dan percaya bahwa berbeda adalah keniscayaan, seberapa pun kita tidak nyaman dengan apa yang disuguhkan, yang dapat dilakukan adalah mematikan televisi, atau ganti saluran.

Dari perspektif bisnis mungkin produser acara itu sudah melakukan kali-kalian yang cermat. Kelompok penonton seperti saya pasti sudah diperhitungkan semua probabilitasnya; ada yang mematikan televisi, ada yang tetap bertahan menonton tetapi mulutnya tak berhenti mengejek, mungkin ada juga yang menonton sambil lalu, dan seterusnya. Bahkan untuk kelompok pemuja fanatik "Bang Haji" produser Mata Najwa sudah pasti punya hitung-hitungan tersendiri. Perspektif bisnis memang penting karena MetroTV adalah pemain kunci industri media di Indonesia.

Maka 'seandainya' pun bisa dipersempit: Seandainya saya adalah produser acara Mata Najwa maka Rhoma Irama tidak akan pernah masuk wilayah pindai radar narasumber yang mampu mencerahkan, menginspirasi dan mencerdaskan publik, tanpa kehilangan rasa hormat kepada perbedaan serta tidak mengurangi keyakinan saya bahwa berbeda adalah keniscayaan...

Jakarta, 8 Des 2012

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Kampanye Pilpres: Pendidikan Politik?

Lelah juga dengan omong kosong bahwa pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden, adalah pendidikan politik bagi rakyat. Perlu didudukkan dulu apa yang disebut politik dalam konteks pernyataan di atas. Karena pada kenyataannya kehidupan rakyat lebih banyak tidak mendapat perlindungan Negara, sebuah entitas yang arsitekturnya dipercaya dibangun melalui politik. Yang terjadi justru seluruh bangun mekanisme resmi Negara di negeri ini hanya berfungsi sebagai panggung tontonan tentang gerak-gerik bernegara. Hanya sebatas gerak-gerik. Tidak lebih tidak kurang. Jadi pendidikan apa yang ditawarkan? Politik beli suara? Politik dengan pemasaran murahan lewat poster-poster menampilkan wajah tanpa konteks? Politik kemasan kata-kata kosong bertajuk visi dan misi?