Skip to main content

Cina, Barat, Kapitalisme, Demokrasi: Runtuhnya Berhala tentang Kemakmuran

Buku terbaru Loretta Napoleoni, "Maonomics: Why Chinese Communists Make Better Capitalists Than We Do," meneguhkan semua dugaan, kecurigaan, dan spekulasi yang membayangi kegelisahan sepanjang dua dekade terakhir: Apakah Indonesia punya masa depan seperti yang dicita-citakan para pendiri negara; sesuai harapan warga kebanyakan yang tak putus dirundung krisis?

Eksportasi demokrasi, pasar bebas dan neoliberalisme berskala mundial sejak akhir Perang Dunia II melesat cepat dan mencapai puncaknya pada saat runtuhnya Tembok Berlin dan protes di Lapangan Tiananmen tahun 1987. Propaganda tentang kemenangan rejim ekonomi-politik Barat yang kapitalistik menyatu lekat dengan gelontoran paket-paket bantuan dari negara-negara industrialis ke wilayah di sabuk tropika yang berlimpah kekayaan alam.

Loretta mengajukan pertanyaan jitu: Siapa sesungguhnya pemenang Perang Dingin, terutama jika dikaitkan dengan krisis kredit, keuangan dan perbankan di Amerika Utara dan Eropa? Loretta menjawab tegas: Karl Marx! Cina adalah bukti tak terbantahkan yang diajukan Loretta.

Demokrasi bagi Cina adalah soal bagaimana negara menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga. Sementara demokrasi yang dipahami secara luas dan dianut negara-negara industtialis serta sebagian besar negara-negara bekas jajahan yang berlimpah kekayaan alam adalah soal format dan daur pergantian penyelenggara negara. Bagi Loretta format dan daur pergantian penyelenggara negara tidak ada urusannya dengan jaminan keselamatan dan kesejahteraan warga selama pasar bebas dan neoliberalisme menjadi polar ekonominya.

Buku ini sangat menghibur mereka yang gelisah mencari gagasan dan argumen tanding terhadap hegemoni ekonomi-politik pasar bebas dan demokrasi padat modal yang menyusup hingga wilayah-wilayah pemekaran di pedalaman Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Seandainya...

Seandainya kita bisa memilih siapa orang-orang yang kita kenal untuk terus bersepakat, seiya sekata sepanjang masa, mungkin kehidupan di planet ini begitu kering. Meski mereka adalah orang terdekat sekalipun, kenyataannya kita tidak bisa mengendalikan mereka. Berbeda adalah keniscayaan.

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Pesta Demokrasi, Pesta Rakyat? Bah!

Mencermati politik baku caci, baku hujat dan baku tikam yang dipertontonkan pada Road To DKI1 , jargon-jargon kosong yang digelontorkan para Pasangan Calon pada setiap kesempatan tidak lebih dari kalimat-kalimat sampah yang dipaksakan sebagai argumen tentang kepemimpinan. Campur aduk konteks kepemimpinan ( leadership ) dengan kemampuan mengelola ( management ) yang agaknya tidak dipahami oleh para Pasangan Calon serta rombongan pendukung masing-masing, menunjukkan kebangkrutan politik Indonesia. Kesempatan besar perombakan besar-besaran melalui Reformasi sudah lama terlewat. Bongkar pasang aturan, prosedur dan tata-kerja politik dan birokrasi yang didorong seperti halnya Ledakan Dahsyat ( Big Bang ) saat itu, sama sekali tidak menyisakan bekas atau ampas-ampasnya saat ini. Indonesia saat ini berada pada situasi mirip ketika sekelompok kera di hutan berproses memilih pemimpin mereka.