Skip to main content

Ketika Bungkus Lebih Penting Ketimbang Isi

Morgan Freeman, aktor kawakan Holywood, mengritik media AS yang cenderung memberi lampu sorot ke sosok penembak massal ketimbang memberitakan rasa sakit dan pedih keluarga korban penembakan. Akibatnya orang-orang frustrasi dan terpinggirkan paham betul bagaimana menggunakan media untuk menyiarkan frustrasi mereka. Dan kejadian serupa terjadi berulang kali. Tentu tidak dapat diabaikan faktor kebebasan memiliki senjata sebagai salah satu pemungkin penting. Di Indonesia bukan orang frustrasi dan terpinggirkan yang memanfaatkan media, tetapi si rakus kuasa dan harta justru yang memanfaatkannya.

Sosok orang yang terbelit kasus korupsi atau pesohor yang tertangkap tangan menggunakan narkoba bisa meramaikan halaman-halaman penting media cetak, atau punya tautan banyak untuk media digital. Konteks warta bisa tidak ada hubungannya dengan kasus yang menimpa. Sosok pun menjadi panglima. Orang lain yang mungkin kebetulan punya hubungan, meski jarak astronomisnya ratusan kilometer, bisa dengan seketika mengklaim kedekatan dengan sosok tersorot, dari sudut apa saja yang bisa diusahakan. Numpang populer mumpung ada momentum.

Ketika Anas Urbaningrum resmi berstatus tersangka, tiba-tiba ia mengeluarkan kartu trufnya: Centurygate dan dugaan Ibas menerima uang Hambalang. Pertanyaannya, dimana etika seorang Anas yang senantiasa menampilkan sosok santun, ketika terang-terangan ia menunjukkan sosok aslinya sebagai politisi yang tega menggunakan kasus yang kental menggambarkan kerugian publik demi kepentingan posisi tawarnya menghadapi SBY? Dan tak seorang pun mempermasalahkan jurus silat pengecut itu. Sebaliknya gelombang kunjungan mengalir terus, apa pun motifnya. Lelah juga menyaksikan serangkaian paradoks bodoh itu.

Lampu sorot media memang ampuh. Yang salah bisa jadi betul, dan sebaliknya. Yang Anda butuhkan adalah pengacara cum petugas hubungan masyarakat (public relations, PR), yang paham betul bagaimana mengaduk-aduk argumen dan pasal-pasal perundangan demi kemenangan. Jadi ini soal menang atau kalah, bukan benar atau salah. Tentu saja soal kemasan tidak boleh dilupakan. Dalam perkara ini kemasan adalah sudut yang secara cermat dipilih untuk mencapai tujuan tertentu. Sudut yang paling laku adalah sosok teraniaya, terzolimi. Dan lampu sorot media yang kemudian akan mengeksekusinya ke publik penonton.

Hal itu disadari penuh oleh Angie Sondakh ketika ia menggiring kedua anak tirinya ke ruang pengadilan. Ini bukan lagi soal moral atau tega tetapi tentang kemasan. Meski sebagian media berkomentar miring soal taktik itu toh tidak sedikit yang menampilkannya secara simpatik. Sosok teraniaya masih jadi pilihan favorit mereka yang jadi pesakitan kasus-kasus korupsi, narkoba dan skandal lain.

Skandal adalah komoditas media. Itu disadari oleh politisi Indonesia. Juga oleh para pesohor atau mereka yang ingin jadi atau ingin diperlakukan layaknya pesohor (celebrities wannabe). Dengan logika dagang barang, mereka pun secara sadar menempatkan perencanaan untuk mengemas sosok sebagai hal kunci. Sehingga media bisa bekerja untuk kemasan sosok yang mereka buat pada dua keadaan: Saat mereka butuh untuk mendongkrak penampakan (visibility) di hadapan publik, dan sebagai siasat ketika mereka terjerat skandal.

Elektabilitas saat ini adalah neraca yang sangat dipertimbangkan dalam rapat-rapat strategis partai-partai politik besar di Indonesia, dan sudah menjadi komoditas andalan perusahaan-perusahaan jasa survai dan konsultansi politik. Janji tentang kemakmuran rakyat, pendidikan dan kesehatan gratis tidak lebih dari sekedar dekorasi panggung mereka. Memang ada pengecualian untuk beberapa kepala daerah yang nyeleneh dari pakem politik demokrasi dagang warung yang marak saat ini, dimana elektabilitas bagi mereka yang nyeleneh justru hanya keluaran sampingan (by product) yang tak-terhindarkan, dimana tingkat kepuasan rakyat terhadap layanan mereka yang menjadi pendongkrak utama neraca tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.