Skip to main content

Citra, Cerita, Pencitraan

Ketika batas antara tampil dan kerja semakin tipis, baru disadari bahwa kehidupan sehari-hari di masa mutakhir ini semakin jelas sosoknya sebagai panggung pertunjukan sandiwara, ketoprakan, wayang, ludrukan, lelakon, drama, apa pun namanya. Setiap orang adalah pemeran utama, dengan orang-orang sekitar sebagai peran pendukung dan peran pembantu, tergantung bagaimana persepsi citra dan alur cerita yang diinginkan si pelaku utama. Siapa gerangan penontonnya? Siapa pun bisa dipersepsikan sebagai penonton. Revolusi teknologi digital yang memungkinkan penyebaran informasi dan komunikasi berlangsung super efisien menjadi ajang pesatnya media sosial, yang membuat setiap orang menjadi pesohor pada skalanya masing-masing. Bekerja pun bisa dimotivasi oleh persepsi tampil, vice versa.

Rumitnya pola hubungan antara menjadi pemeran atau pelakon, penulis cerita, pengarah pertunjukan, hingga pemasaran pada setiap orang yang intensif menggunakan media sosial (bahkan hingga tingkat kecanduan), secara psikologik mendorong setiap orang menciptakan lapis-lapis bawang karakter dari karakter inti dan jati diri, sesuai persepsi citra yang dia inginkan serta sesuai cerita yang ditampilkan. Menjadi seseorang adalah tentang sosok yang diidamkan, yang dipersepsikan penampilannya dari sudut pandang penonton. Umumnya penyosokan ini melibatkan rujukan tentang tokoh atau sosok yang dikagumi, atau sosok yang tidak disukai yang karakternya ingin dihindarkan. Di bawah asuhan hiruk pikuk revolusi teknologi digital, pepatah “jadilah diri sendiri” memiliki makna yang jauh berbeda.

Saya menganggap pencitraan bukan sesuatu yang buruk, bahkan dia adalah sebuah keniscayaan mutakhir. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi mengubah makna dan pemaknaan tata hubungan sosial, dan saat yang sama juga mengubah perspektif tentang kedirian dan jati diri. Gempuran gelombang pasar bebas yang saat ini sudah menjangkau hingga pengambilan keputusan tingkat rumah tangga dan bahkan orang per orang menjadi kendaraan percepatan, yang membuat etika, norma dan moralitas mesti dibaca ulang secara seksama. Dalam hal ini saya tidak mempersoalkan mengenai subyektivitas, obyektivitas, atau relativitas, dalam hal etika, norma dan moralitas. Saya justru menyorongkan kenyataan tentang gelombang hebat pasar bebas yang kegesitan dan kelincahan tidak akan pernah bisa dikendalikan oleh perangkat regulasi tatanan organisasi Negara atau antarnegara. Sehingga apa yang sungguh-sungguh dapat diraih dan diwujudkan sangat bergantung pada skala atau lingkup kemampuan yang saat ini sudah dimiliki. Revoluasi teknologi informasi dan komunikasi, dengan fasilitasi gelombang pasar bebas, memungkinkan orang menjadi Negara bagi dirinya sendiri, baik dalam konteks Negara sebagai sebuah tatanan dan organisasi maupun Negara sebagai sebuah panggung pertunjukan, yang bagi sebagian kalangan melihatnya sebagai sebuah penanda Akhir dari yang Serba Besar atau the End of Big.

Pada beberapa perdebatan dan pembahasan di ruang publik, kerap dilontarkan tentang ketauladanan. Bagaimana kita mendefinisikan ketauladanan, apabila kita luput merenungkan keniscayaan mutakhir tentang citra dan pencitraan yang difasilitasi revolusi teknologi informasi dan komunikasi, serta gelombang pasar bebas? Bukankah kita juga sibuk memerankan lakon yang naskahnya kita susun sendiri, dengan persepsi penonton yang kita bayangkan sendiri? Apa perbedaan antara meneladani dengan penjadi pengagum fanatik sosok yang diidamkan? Di ujung hari yang kasat kita lihat adalah pusaran-pusaran makna dan pemaknaan, yang pontang-panting mengejar gempuran gelombang pasar bebas, yang bergerak khaotik tetapi justru menciptakan irama-irama baru.

Jakarta, 4 Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.