Skip to main content

Sogok, Borok, Sosok

Agaknya rasa yang saya miliki sudah ba’al setiap mendengar, membaca dan menonton berita-berita tentang abdi-abdi publik yang tertangkap tangan terkait sogok dan korupsi. Ambang torelansi kita terus menebal. Berita-berita seperti itu sekedar lewat dari telinga kiri ke telinga kanan tanpa lewat pemrosesan di girus-girus kelabu otak. Mungkin kualitas perhatian saat membaca berita-berita olahraga atau gosip para pesohor jauh lebih besar ketimbang yang terkait dengan kasus-kasus sogok dan korupsi. Bolehjadi segala hal tentang borok Bangsa terlihat biasa-biasa saja, menjadi bagian tak-terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, atau bahkan sudah menjadi keniscayaan. Alangkah mengerikannya apabila suatu saat sinonim frasa sogok dan korupsi adalah Indonesia.

Banyak yang menolak bahwa sogok dan korupsi sudah menjadi budaya Bangsa Indonesia. Masih ada harapan untuk melenyapkannya dari kehidupan di Bumi Pertiwi: Masih banyak orang-orang baik yang akan bekerja keras bahu membahu melenyapkan penyakit dan borok bangsa itu. Tetapi harapan itu masih harus berlaga menghadapi elit-elit yang tanpa malu terus berjuang mempertahankan privilege mereka yang memungkinkan status quo borok sogok dan korupsi. Elit-elit yang tanpa rasa salah atau wagu berlaku sebagai orang yang relijius, tampil di ruang-ruang publik membawakan frasa-frasa kosong tentang kejayaan Negeri. Apakah sikap, cara pandang dan mentalitas elit-elit itu merupakan hasil dari suatu proses reproduksi yang terencana dan sistematik, atau mereka hanya sekedar hasil sampingan dari sistem penyelenggaraan Negara, jika sogok dan korupsi tidak dapat digolongkan sebagai budaya?  Mungkin saya perlu dudukkan cara pikir dan sikap dengan menjawab pertanyaan: Apakah yang disebut dengan budaya Indonesia? Bagaimana pemahaman tentang budaya Indonesia ketika diperhadapkan dengan fenomena massif sogok dan korupsi? Apakah makna kita sebagai warga Indonesia, dan bagaimana kita meresapi lalu merespon semua puja-puji tentang keindonesiaan yang dicekoki sejak kita masih kanak-kanak? Dengan rasa yang sudah ba’al terhadap semua borok Bangsa, agaknya saya mesti mengakui bahwa saya belum mampu mengindonesia.

Jakarta, 14 Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

Seandainya...

Seandainya kita bisa memilih siapa orang-orang yang kita kenal untuk terus bersepakat, seiya sekata sepanjang masa, mungkin kehidupan di planet ini begitu kering. Meski mereka adalah orang terdekat sekalipun, kenyataannya kita tidak bisa mengendalikan mereka. Berbeda adalah keniscayaan.

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Citra, Cerita, Pencitraan

Ketika batas antara tampil dan kerja semakin tipis, baru disadari bahwa kehidupan sehari-hari di masa mutakhir ini semakin jelas sosoknya sebagai panggung pertunjukan sandiwara, ketoprakan , wayang, ludrukan , lelakon , drama, apa pun namanya. Setiap orang adalah pemeran utama, dengan orang-orang sekitar sebagai peran pendukung dan peran pembantu, tergantung bagaimana persepsi citra dan alur cerita yang diinginkan si pelaku utama. Siapa gerangan penontonnya? Siapa pun bisa dipersepsikan sebagai penonton. Revolusi teknologi digital yang memungkinkan penyebaran informasi dan komunikasi berlangsung super efisien menjadi ajang pesatnya media sosial, yang membuat setiap orang menjadi pesohor pada skalanya masing-masing. Bekerja pun bisa dimotivasi oleh persepsi tampil , vice versa .