Skip to main content

Republik Jegal, Jagal, dan Begal: Hidup Cuma Urusan Jegal Menjegal

Jika Anda ingin berkarir di dunia politik ada syarat fundamental yang harus dimiliki: Punya koleksi kartu truf orang yang berpotensi bergesekan dengan kepentingan Anda! Koleksi itu harus bertumbuh terus jika tidak ingin Anda jatuh atau disingkirkan secara menyakitkan. Demikian halnya apabila Anda ingin menjadi pejabat publik melalui penugasan politikal. Agar bisa bekerja tenang mesti ditunjukkan bahasa tubuh bahwa punya kartu truf mereka yang berpeluang mengganggu kerja Anda. Bersih dan nothing to lose tidak cukup.
Pertunjukkan drama jegal menjegal bukan cuma tentang kisruh Polri vs KPK. Itu adagium klasik politik. Apabila tidak ada cacat atau aib yang signifikan pihak lawan bisa memesan kepada penyedia jasa rekayasa membuatkan aib yang mampu menjatuhkan Anda, minimal digunakan untuk memulai sebuah transaksi. Apakah kita harus sesuci bayi yang baru dilahirkan atau seputih kapas agar bisa berkarir politik dan menjadi pejabat publik? Atau, seperti yang saya sampaikan sebagai pembuka tulisan ini, kita pun harus ikut menggunakan modalitas yang sama dan ikut aktif bermain? Jadi apa sesungguhnya tujuan berpolitik dan jadi pejabat publik, jika pikiran kita tersita hanya untuk survive dengan posisi yang dimiliki?

Bagaimana dengan seorang diktator? Apakah dia juga menggunakan modalitas yang sama? Bolehjadi di awal dia merebut kekuasaan fondasinya adalah penaklukan lawan-lawannya menggunakan kartu-kartu truf yang dia kumpulkan. Yang jelas pada lingkar dalam ruang pembuatan keputusan sang diktator permainan kartu yang saling memeras dan saling menjegal di antara pembantunya adalah hal tak terhindarkan. Bahkan mereka yang memiliki kedudukan strategis sebagai pembisik sang diktator pun sibuk mengoleksi kartu-kartu truf milik sang diktator. Kegunaannya jelas, baik sebagai asuransi keselamatan terutama ketika sang diktator sudah kurang membutuhkan perannya, maupun sebagai amunisi untuk menghabisi sang diktator apabila keadaan mendesak serta mengancam dirinya. 

Jegal menjegal, tusuk dari belakang, koleksi kartu-kartu truf aib lawan, dapat berlangsung dan tampak sopan, seperti yang bisa kita tonton di sebuah film televisi produksi Holywood, yakni "House of Cards", yang secara gamblang mempertontonkan bagaimana akrobatik politik sudah menjadi adagium bagi mereka yang ingin dan tengah menapak ke lingkar dalam kekuasaan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan latar antara Indonesia dengan Amerika Serikat, yang digunakan "House of Cards" sebagai latar dan panggung, saya kira apa yang berlaku dan dipertontonkan sangat relevan dengan gambaran politik Indonesia, baik sejak masa Soekarno, Soeharto, dan bahkan pasca-Reformasi. Pembicaraan tentang aib politisi lain sudah menjadi menu umum di ruang-ruang diskusi para pemain politik. Tetapi di negeri ini tontontan itu terlihat sangat vulgar, telanjang dan tak tahu malu. Contoh paling mutakhir adalah perseturuan Ahok versus politisi DRPD DKI Jakarta. 

Dimana gerangan ruang-ruang di mana orang-orang biasa, warga kebanyakan, seperti saya dan Anda, dapat menaruh harapan penyelenggaraan kehidupan yang lebih beradab yang mengedepankan kepentingan dan kemaslahatan khalayak luas? Saya sering mengingatkan diri sendiri untuk tidak berpengharapan muluk-muluk, apalagi jika setiap saat dipertontonkan panggung politik yang kasar, norak, vulgar dan menjijikkan. Di republik ini penyelenggaraan negara memang sesederhana siasat bertahan hidup para politisi dengan jegal menjegal serta menjagal lawan mereka, dan membegal kepentingan publik. Sesederhana itu. Sedangkal itu. Sebodoh itu. Dan gilanya, kita begitu tak berdaya untuk memberikan perlawanan, bahkan yang paling kecil sekali pun.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.