Skip to main content

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."



Terlepas keperwakilan pernyataan itu, yang saya kira kita tidak perlu peduli karena statistik survai dan riset pun bisa dikadali, bagaimana bandar judi dari negara lain memandang bangsa Indonesia merupakan hal yang seharusnya menjadi renungan mereka yang berakal dan merasa punya misi memperbaiki negeri ini. Tetapi gambaran itu justru ternyata pas sekali dengan sikap dan perilaku elit-elit politik Indonesia, yang notabene berada di lingkar dalam pengambilan kebijakan dan keputusan ke mana arah negeri ini bergerak. Ke jurang kehancuran, atau merayap dan mendaki menuju kebesaran?

Mungkin kita sendiri pun perlu merenung dan bercermin tentang jati diri dan keberadaan kita sebagai sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia. Apakah kita hidup sekedar untuk menyambung hidup (survival), mengingat bobroknya struktur penyelenggaraan negara yang dikuasai orang-orang bodoh dan dangkal tetapi sangat berkuasa serta rakus harta? Apakah kita menginginkan hidup yang bermakna, melompat keluar dari ketertindasan yang tidak juga lenyap meski katanya negeri ini sudah bebas dan merdeka dari penjajahan bangsa lain?

Mencermati kalkulator ekonomi-makro yang digunakan Menteri ESDM, Sudirman Said, untuk memutuskan bahwa rakyat harus menyubsidi negara dan perusahaan-perusahaan di bidang energi, atas nama pengembangan strategi ketahanan energi jangka panjang, adalah satu bukti kongkret betapa bodohnya kita semua. Tanpa protes kita menyubsidi Rp 4.000 setiap liter bensin premium yang dibeli kepada pihak yang seharusnya menjamin keselamatan dan daya-pulih produktifitas serta pemenuhan kebutuhan dasar kita sehari-hari. Padahal, sebagai warga yang patuh pajak pun secara teratur sudah dibayar. Kita justru disuguhi kerakusan anggota-anggota DPR yang gemar mengutak-atik anggaran untuk renovasi gedung yang dilengkapi spa, kolam renang dan fasilitas mewah lain, yang kabarnya dapat meningkatkan produktifitas kerja mereka. Inikah praktik dan implementasi "Revolusi Mental", yang katanya pemimpin akan menjadi tauladan bagi rakyatnya dalam mendorong perubahan bermakna?

Petisi-petisi yang digalang dan digelombangkan publik sejauh ini lebih bekerja sebagai dinas gangguan belaka. Satu persoalan ke persoalan lain, yang sebenarnya memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga dapat dilihat bahwa masalah yang kita hadapi bersifat sistemik. Apabila kita sungguh-sungguh menginginkan perubahan yang fundamental dibutuhkan penggalangan dan gelombang yang lebih besar, yang bolehjadi harus berani keluar dari tata-krama formal bernegara. Meskipun kita sadar hal itu tidak bisa berlangsung dan dilakukan secara linear, karena akan ada penunggangan-penunggangan oleh elit-elit pinggiran yang air liurnya mungkin lebih kental ketimbanng elit yang kini berkuasa, baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Belum lagi kalangan elit bersenjata, baik tentara maupun polisi.

Apakah, akhirnya, kita hanya bisa mengelus dada sambil bersungut: "Kerenya bangsaku...."

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.