Skip to main content

Skandal Vaksin Palsu: Ketidakpedulian Tingkat Super!

Sudah lama saya tidak menulis di blog ini. Ketika berita tentang vaksin palsu membanjir kemarahan luar biasa mesti disalurkan. Karena menurut saya ini adalah tingkat ketidakpedulian terhadap keselamatan sesama, terutama generasi masa depan, pada derajat yang luar biasa, skala kolosal atas nama uang! Selain pelaku pemalsuan dan jejaring pengedarnya, pihak yang juga sangat bertanggungjawab adalah pengurus Negara. Karena biang kerok lahirnya warga yang dibutakan oleh uang sehingga tega mengorbankan keselamatan sesama adalah akibat langsung dan tidak langsung dari pilihan orientasi para pemimpin dan elit pengurus Negara yang memuja pertumbuhan ekonomi dan mengabdi pada pasar!
Sudah muak dan geram saya membaca bagaimana vaksin palsu diproduksi baik dari berita-berita media online serta ribuan kicauan di Twitter. Apa yang saya tangkap adalah tentang derajat ketidakpedulian luar biasa para pelaku terhadap keselamatan dan keamanan sesama manusia, terutama balita dan bayi. Tetapi hal ini juga saya pandang sebagai tanggungjawab pengurus Negara akibat kebijakan ekonomi-politik penyelenggaraan Negara yang melepas urusan publik, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan pangan ke tangan pasar. Kedudukan warganegara direduksi sedemikian rupa menjadi konsumen dari barang-barang publik yang telah diubah menjadi komoditi pasar. Para pelaku pemalsuan dan peredaran vaksin palsu, minyak goreng oplosan, pelumas oplosan, bahan bakar oplosan dan sebagainya, melihat hal tersebut sebagai peluang usaha dengan marjin laba luar biasa besar.

Pendidikan dan kesehatan sepanjang kurun lebih dari satu dekade sudah menjadi komoditif politik pada setiap pemilihan presiden, kepala daerah dan bahkan pemilihan umum. Bentuk tanggungjawab yang ditawarkan pada janji-janji politik tidak lebih dari fasilitas dan subsidi keuangan berupa jaminan yang sarat kebocoran, baik itu kartu sehat atau kartu pintar. Suka atau tidak suka itulah tafsir paling maksimal para politisi tentang hak warganegara atas jaminan kehidupan yang sehat dan peluang taraf hidup yang lebih baik melalui pendidikan. Mereka sama sekali tidak paham bahwa kesehatan dan pendidikan publik adalah hak-hak asasi warganegara. Dan itu dimulai dari lingkungan yang sehat, distribusi akses kepada kegiatan produksi dan jaminan atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bukan kartu ini atau kartu itu.

Ketika tanggungjawab Negara atas kesehatan publik direduksi hanya sebagai fasilitas keuangan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, saya menangkap bahwa para pengurus Negara dan para politisi memandang warganegara sebagai konsumen dari ekonomi pasar yang sepenuhnya difasilitasi dan dilayani oleh Negara. Warganegara memiliki kedudukan mulia hanya pada masa-masa menjelang pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Kedudukan warganegara dianggap penting ketika terkait urusan pajak. Tidak lebih tidak kurang.

Saya tidak melantur mengaitkan skandal vaksin palsu dengan kekacauan ekonomi-politik Indonesia. Jika kita membiasakan diri membaca situasi sepotong sepotong kita hanya akan sibuk mengutuk para pelaku pemalsuan vaksin dan meminta pengurus Negara mengambil tindakan tegas menghukum mereka. Padahal beragam penyakit sosial, seperti kriminalitas dan ketimpangan sosial-ekonomi-politik adalah anak kandung dari pilihan ekonomi-politik yang berorientasi pertumbuhan, yang senantiasa memfasilitasi pembesaran kemampuan segelintir orang penguasa kapital finansial menguasai ekonomi, dan mengumbar janji kepada warganegara tentang peluang pekerjaan dan infrastruktur.

Industrialisasi yang bersifat ekspansif telah mengakibatkan menyusutnya lahan-lahan dan perairan produktif mengakibatkan merosotnya daya-pulih produktivitas petani dan nelayan. Para petani dan neyalan diminta bergabung dengan kelompok industri sebagai plasma untuk meningkatkan kesejahteraannya. Daya beli warga terhadap barang-barang konsumsi, termasuk pangan, menjadi penyumbang penting angka pertumbuhan ekonomi. Padahal pola plasma-inti, yang sekarang diperhalus menjadi pola kemitraan, tidak lebih dari pengadaan buruh murah.Pola produksi-konsumsi yang utuh, di mana warga berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menjual kelebihan produksi, direndahkan sebagai pola subsisten yang mesti diubah, karena menghambat pertumbuhan ekonomi. Jika warga ingin memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka harus membeli di pasar.

Pasar yang bersifat terbuka tentu menawarkan barang dengan derajat kualitas sesuai harga. Semakin baik maka harganya semakin mahal. Semakin murah, maka jangan menuntut kualitas yang baik. Bahkan praktik dagang barang-barang bermerek memiliki standar tersendiri, dengan memberikan label ori, KW1, KW dan seterusnya. Bisajadi para pelaku pembuat dan pengedar vaksin palsu tidak memiliki bacaan seperti itu. Tetapi mereka melihatnya sebagai peluang usaha. Bisajadi pula mereka menggali peluang dengan belajar dari berbagai praktik korupsi terutama di bidang kesehatan. Dan itu terjadi juga pada pelaku usaha lain, yang melakukan tindakan mengancam keamanan dan keselamatan publik, baik pada tingat angkringan, seperti penjual gorengan yang mencampur plastik dengan minyak gorengnya, penggunaan borax pada bakso sapi, dan sebagainya, hingga tingkat paling canggih seperti pembuatan vaksin palsu yang terjadi saat ini.

#MarahGeramMual
4 Juli 2016

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.