Skip to main content

Ini Soal Ciprat, Bukan Citra, Apalagi Cita dan Cipta

Melongok ke belakang, penampilan gagah Soekarno bergandengan dengan pemimpin-pemimpin negara bekas jajahan di Asia, Pasifik, Afrika, dan belahan tengah dan selatan benua Amerika, mengusung KTT Non Blok dan Konferensi Asia Afrika, merupakan panggung pencitraan kolosal yang mampu menyibukkan dinas telik sandi Amerika Serikat dan Inggris. Pagelaran akbar itu sempat mengganggu agenda dan proses fabrikasi demokrasi kapitalistik saat itu. Jauh berbeda dibanding pencitraan masa kini yang tak beranjak dari pupur dan gincu murahan.

Koleksi bacaan yang kita rujuk tentang Indonesia periode Kemerdekaan hingga dijatuhkannya Soekarno adalah soal kegagalan ekonomik, diukur dari takaran ekonomi (neo)klasik, yang gencar dipropagandakan sebagai awal Perang Dingin. Naiknya Soeharto yang dilimpahi fasilitas Utara, yang kemudian kecipratan rejeki meroketnya harga minyak gara-gara Perang Yomkipur, didudukkan sebagai rujukan baku bagaimana negara miskin naik kelas mencapai status 'berkembang'. Sepanjang periode 70an hingga akhir 90an ambang toleransi Utara terhadap kebengisan rejim Soeharto sangat tinggi. Neraca yang digunakan adalah ekonomi, yang juga menjadi ajang eksportasi neoliberalisme Reagan-Tatcher.

Hegemoni rujukan dan bacaan tentang baku mutu ekonomi yang berbasis pada konsumsi barang dan jasa industrial didudukkan sebagai keniscayaan tanpa tanding. Bahan bacaan itu menjadi kurikulum belajar pada lembaga-lembaga persekolahan berbagai tingkatan, memproduksi tenaga trampil dan cekatan yang siap melayani pasar. Ungkapan cita-cita anak Indonesia adalah soal jenis pekerjaan, bukan gambaran keadaan yang lebih baik. Daya cipta didudukkan sebagai bakat khusus mereka yang nyeleneh dari domain fabrikasi tenaga trampil dan cekatan.

Generasi kalangan pelawan pada masa Soeharto sangat diuntungkan karena adanya sosok utuh yang harus dilawan. Pada masa sekarang yang dilawan justru sesuatu yang menjerat hingga ke sumsum tulang belakang orang per orang: Konsumerisme. Sebuah tata pemenuhan yang mengabdi pada pasar dan telah meluluhlantakkan tata produksi yang sesuai kemampuan sosial dan ruang hidup setempat. Jangan heran jika Indonesia konon merupakan negara pembelanja perangkat telepon genggam beserta ubo-rampenya yang tergolong terbesar di dunia. Belanja, belanja, belanja....

Comments

Popular posts from this blog

Seandainya...

Seandainya kita bisa memilih siapa orang-orang yang kita kenal untuk terus bersepakat, seiya sekata sepanjang masa, mungkin kehidupan di planet ini begitu kering. Meski mereka adalah orang terdekat sekalipun, kenyataannya kita tidak bisa mengendalikan mereka. Berbeda adalah keniscayaan.

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Citra, Cerita, Pencitraan

Ketika batas antara tampil dan kerja semakin tipis, baru disadari bahwa kehidupan sehari-hari di masa mutakhir ini semakin jelas sosoknya sebagai panggung pertunjukan sandiwara, ketoprakan , wayang, ludrukan , lelakon , drama, apa pun namanya. Setiap orang adalah pemeran utama, dengan orang-orang sekitar sebagai peran pendukung dan peran pembantu, tergantung bagaimana persepsi citra dan alur cerita yang diinginkan si pelaku utama. Siapa gerangan penontonnya? Siapa pun bisa dipersepsikan sebagai penonton. Revolusi teknologi digital yang memungkinkan penyebaran informasi dan komunikasi berlangsung super efisien menjadi ajang pesatnya media sosial, yang membuat setiap orang menjadi pesohor pada skalanya masing-masing. Bekerja pun bisa dimotivasi oleh persepsi tampil , vice versa .