Skip to main content

Hegemoni Persepsi Kapital – Melulu Soal Uang? Melulu Soal Penyediaan Bahan Mentah dan Buruh?

Mengapa elit penguasa Indonesia (dan kemungkinan besar negara-negara bekas jajahan) senantiasa menggap diri mereka sebagai negara miskin, sehingga tanpa kenal lelah terus menerus mencari sumber-sumber keuangan lewat utang dengan beragam kemasan, baik dari sumber swasta maupun negara? Persepsi ini berangkat dari pemahaman bahwa kapital hanya melulu soal keuangan. Bagaimana dengan kapital sosial, budaya, dan alam?
slatantimur001

Kebijakan dan perundangan di Indonesia terang-terangan bicara tentang betapa berkuasanya kapital keuangan atau kapital finansial dalam penyelenggaraan negara. Masalah Indonesia dipahami hanya soal kekurangan uang sehingga menghambat kemajuan karena tidak mampu berbelanja teknologi (yang, tentu saja, diimpor dari negara lain baik secara utuh maupun yang dirakit di dalam negeri, yang sama sekali terputus dari kemampuan terpasang dari budaya Indonesia). Kemampuan keuangan dan penguasaan teknologi menjadi semacam mukjijat untuk meraih mimpi kemakmuran yang didengungkan ‘agama’ pembangunan. Imaji dan mimpi kemakmuran hanya dapat dicapai lewat penguatan kemampuan keuangan dan penguasaan atas teknologi. Titik! Itu kira-kira kredo pembangunan global.

Mengingat jenis kapital yang diakui dan berlaku global adalah kapital finansial, maka ketika kita bicara tentang pertumbuhan kapital maka sarana yang dibuat adalah kemudahan-kemudahan untuk memperoleh uang terutama lewat cara berutang atau kredit.  Kemudahan mendapatkan uang tentu saja bertujuan untuk menggairahkan nafsu berbelanja. Karena, menurut ‘agama’ pembangunan gairah belanja yang tinggi akan menyumbang pada laju pertumbuhan ekonomi. Ia akan meningkatkan pendapatan domestik kotor, PDRB atau GDP. Bagaimana jika jenis kapital lain juga diperlakukan setara?

Seperti halnya pertumbuhan (dan juga perluasan) kapital finansial, maka Negara harus menjamin kemudahan bagi warga untuk menumbuhkan dan memperluas kemampuan sosial, kultural dan alam, lewat berbagai strategi dan pendekatan. Dalam konteks sosial dan kultural, yang paling kasat mata adalah jaminan Negara bagi warga untuk meningkatkan dan meluaskan kesempatan pendidikan mereka. Ini pun mesti dibaca secara luas. Bukan hanya tentang persekolahan formal. Namun harus mencakup pengakuan dan perlindungan Negara atas keberagaman pendekatan proses reproduksi dan desentralisasi pengetahuan masyarakat di sekujur pulau-pulau Nusantara. Sehingga kebijakan nasional tidak perlu mengurusi tetek-bengek yang tidak relevan dengan hakekat pertumbuhan (dan perluasan) kapital sosial dan kultural, yakni kedaulatan dan daya-pulih sosial dan budaya warga. Sayangnya perspektif kebijakan pendidikan nasional hanya dibaca dari perspektif pertumbuhan (dan perluasan) kapital finansial, dalam hal ini diperlakukan sebagai sektor penyedia kapasitas tenaga buruh terampil pada beberapa strata manajerial yang bersumber dari berbagai strata persekolahan. Sehingga pendekatan rekayasa manajerial pabrik dan manufaktur pun diterapkan pada kebijakan pendidikan nasional, seperti Ujian Akhir Nasional (UAN) dan standarisasi dan sertifikasi kemampuan guru. Karena kebijakan pendidikan nasional memang tidak bicara soal pertumbuhan (dan perluasan) kapital sosial dan kultural, tetapi menjamin ketersediaan suplai buruh terampil untuk kepentingan industrialisasi.

Hal sama berlaku untuk kapital alam. Yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (dan perluasan) kapital alam adalah melalui kebijakan Negara yang menjamin bahwa strategi dan pendekatan keruk atas tanah, air dan kekayaan alam lain dilakukan secara cermat dan cerdas sehingga tidak merugikan generasi masa depan. Sama halnya dengan kapital sosial dan kultural, kapital alam pun diperlakukan melulu untuk melayani pertumbuhan (dan perluasan) kapital finansial, meski hanya pada tingkat penyediaan bahan mentah dan olahan siap ekspor. Kawasan-kawasan yang memiliki fungsi perlindungan (baik pada konteks menjaga keseimbangan proses-proses ekologik, menjamin kemampuan fungsi-fungsi alam seperti sumber air bersih, udara bersih, maupun pada konteks pencadangan kekayaan alam untuk generasi masa depan) harus mengalah kepada sektor-sektor industri keruk yang mampu menghasilkan uang dalam waktu cepat. Meski uang yang dihasilkan bukan nilai bersih dari jenis kekayaan alam itu, melainkan dari biaya sewa dan perijinan (rent economy).

Gambaran itu sangat gamblang pada tata penyelenggaraan Negara di Republik Indonesia. Setiap generasi rejim penguasa Negara wajib memindahkan tongkat estafet penghambaan pada pasar global ke generasi rejim berikutnya, dengan pengecualian Soekarno dan Gus Dur (meski hanya untuk waktu yang sangat singkat). Yang disebut arus-utama dimana kapital finansial menjadi panglima sesungguhnya adalah sebuah hegemoni. Dan itu dimungkinkan bukan karena kecanggihan para hegemon saja, tetapi karena adanya antrian panjang orang-orang pengejar dan penggali peluang (opportunists) yang siap menghamba di wilayah-wilayah keruk…

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.