Skip to main content

Ini Perkara Skala – Ambisi Babi Buta dan Rusa Peka

Pertemuan singkat dengan Haji Samsudin Hatta di kantor lapangnya di Mamuju, menjadi sebuah diskusi reflektif yang luarbiasa. Meski dia seorang anggota DPRD ia tidak menampilkan sosok seorang penjaja barang kelontong, yang berbeda antara bumi dan langit antara janji di mulut dengan kualitas barang yang sesungguhnya. Ia juga tidak memamerkan sosok yang punya akses ke kekuasaan. “Saya ya tetap seorang petani. Masuk politik tentunya punya pamrih; membuka akses ke pengambilan keputusan supaya kawan-kawan petani kakao lain dapat diperbaiki kualitas hidupnya,” Ujarnya merendah. Lelaki pertengahan 40an ini secara sederhana bicara soal perubahan pada skala yang terkelola. Meski bicara tentang cita-cita yang melangit laki-laki itu tidak memamerkan ambisi dan retorika kosong; ia memberi tauladan singkat pentingnya memiliki kepekaan kelima indera menghadapi perubahan.
skala itu
Pragmatisme bukan sesuatu yang buruk, menurut beliau. Definisi kerja pragmatisme bagi petani kakao yang mendirikan kelompok tani Agro Prima Kakao ini adalah sebuah cara pandang bagaimana mendorong prakarsa berdasarkan jangkauan pengamatan yang pendek terhadap sumberdaya yang bisa dimanfaatkan secara cepat. Ketika ditanya tentang peluang timbulnya risiko yang di luar jangkauan pengamatannya, ia berdalih, “Apa kita memang harus membaca semua sudut baik dari masa sekarang maupun masa depan? Risiko adalah bagian dari hidup. Kegagalan juga bagian dari hidup. Bagi saya kemampuan merencanakan tidak boleh melebihi apa yang kita punya saat ini. Jika ada sumbangan dari tempat lain, Alhamdulillah. Jika rencana kita gagal, ya harus dilihat ulang, apa yang salah dengan rencana kita.” Namun ia tidak menampik bahwa dibutuhkan satu kualitas dasar bagi orang untuk maju, yakni keyakinan atas pilihan, tidak boleh lelah merawat hubungan sosial, dan tidak boleh berhenti mempelajari hal-hal yang belum dipahami.

“Saya generasi ketiga dari dua keluarga asal Majene yang merantau jalan kaki menuju tempat ini, mencari lahan yang masih lowong untuk diolah dan dimanfaatkan,” Kilas balik itu ia anggap penting karena menurutnya merupakan rujukan dari keyakinan atas apa yang ia pilih saat ini. Ia belajar dari para orangtua bagaimana pengorganisasian sosial merupakan kunci keberhasilan dari usaha mengolah tanah dan kekayaan alam. “Kemampuan teknik, dukungan teknologi serta pasar memang penting, tetapi ketiganya tidak akan ada artinya jika kita gagal mengorganisir kelompok agar usaha pertanian kita bisa diperhitungkan dan diunggulkan.” Ia merujuk pada kelompok tani kakao yang ia dirikan lima tahun silam. “Saya tidak ingin menambah anggota kelompok. Cukup duapuluh lima orang saja. Kenapa? Karena saya hanya mampu memimpin dan mengorganisir duapuluh lima orang petani kakao…” Ia pun secara terus terang menyatakan bahwa tujuan memilih Partai Demokrat sebagai kendaraannya menjadi anggota DPRD adalah pilihan pragmatis demi meningkatkan posisi tawar kelompok tani yang ia dirikan ini. Diskusi empat jam itu menunjukkan tentang bagaimana tingkat praktik dari sebuah pengorganisasian sosial, budaya, ekonomi dan politik dilaksanakan pada skala yang terkelola sehingga mampu memberi manfaat kongkret kepada warga, dan pada saat yang sama menumbuhkan ketangguhan warga agar memiliki daya pulih yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tekanan-tekanan eksternal yang terus datang silih berganti.

Sekembali dari kantor lapang perkebunan Agro Prima Kakao saya mencoba menyandingkan dengan potret amburadul penyelenggaraan negeri ini. Logika saya sederhana. Penyelenggaraan negara mestinya adalah sebuah usaha pengorganisasian, baik itu sosial, budaya, ekonomi dan politik. Tetapi ia bukan sebuah panggung terpisah dari satuan-satuan organisasi yang lebih kecil yang dinaunginya. Saya pikir di situlah letak simpul kekacauannya. Ia terputus, dan bahkan memiliki alir komunikasi terbalik, dari satuan besar ke satuan yang lebih kecil. Tidak terbangun alir komunikasi dua arah yang dinamik dan … terkelola! Lebih parah lagi, satuan-satuan kelola yang lebih kecil secara sadar dan terencana justru dibuat sebagai sebuah trajektori pola operasi satuan Negara. Bukan sebaliknya. Artinya, indikator keberhasilan ada pada satuan payung, bukan pada satuan terkecil. Mestinya, penyelenggaraan Negara di Jakarta harus mampu menunjukkan indikator keberhasilan pada satuan organisasi kelola terkecil, yakni pada tingkat organisasi warga, baik pada skala keluarga maupun lingkungan dimana sekelompok keluarga mengorganisir diri. Dengan kata lain, penyelenggaraan Republik Indonesia adalah sebuah prakarsa ambisius yang membabi buta. Mesin organisasi Negara tidak memiliki konektifitas dan kepekaan atas satuan-satuan paling kecil yang berada di dalam teritorinya.

Merujuk tulisan saya terdahulu, “Hegemoni Persepsi Kapital – Melulu Soal Uang? Melulu Soal Penyediaan Bahan Mentah dan Buruh?”, fondasi organisasi yang diusung, terutama sejak Orde Baru berkuasa, adalah ekonomi keuangan belaka. Alih-alih berfungsi sebagai panggung bersama untuk dialog diantara satuan-satuan organisasi kelola dan dengan satuan organisasi kelola di tingkat Negara, ekonomi keuangan justru menjadi lingua franca yang secara perlahan tetapi pasti meminggirkan unsur-unsur lain yang tidak dapat dipisahkan dari pola kerja organisasi kelola, baik itu sosial, budaya, dan politik. Lebih parah lagi, lingua franca itu pun secara sistematik melakukan komodifikasi atas ruang hidup menjadi sekedar fungsi keruk, berupa hamparan lahan dan kekayaan alam yang dapat diperdagangkan secara mentah. Akibatnya pola hubungan antara satuan-satuan organisasi kelola yang lebih kecil bersifat eksploitatif, dimana mereka harus menjadi buruh bagi satuan organisasi kelola di tingkat Negara. Status warga tereduksi dan terdegradasi sedemikian rupa sehingga tugasnya adalah melayani dan berkorban demi satuan organisasi kelola Negara.

Terlepas dari teori-teori politik dan hukum tata negara yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, yang hakekatnya tidak mengajarkan pengetahuan endogenous dan indigenous tetapi cangkokan dari sana sini, soliditas dan daya pulih satuan organisasi pada skala yang terkelola, merujuk pada pengalaman Haji Samsudin Hatta, mestinya dilindungi oleh Negara. Bahkan Negara harus menjamin kedaulatan satuan-satuan yang kecil dan terkelola itu. Negara pun seharusnya berusaha agar hubungan diantara satuan-satuan yang kecil dan terkelola yang tersebar di seantero teritori klaimnya berlangsung dan berjalan secara produktif dan regeneratif. Mengapa demikian? Karena kinerja soliditas dan daya pulih pada tingkat Negara hakekatnya merupakan penjumlahan sederhana dari kinerja satuan-satuan yang lebih kecil pada skala terkelola tersebut! Artinya, sebagai contoh, kinerja seorang SBY dan Boediono mestinya diukur bukan dengan indikator ekonomi makro, tetapi pada kualitas hidup dan daya pulih warga baik secara perorangan maupun pada tingkat satuan organisasi warga. Saya tidak bicara tentang kemiskinan menurut definisi Bappenas atau Bank Dunia, juga tidak bicara tentang Indeks Pembangunan Manusia serta indikator-indikator makro lainnya. Saya bicara tentang akses orang per orang terhadap pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga, baik sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Haji Samsudin Hatta punya keluhan. Keluhan yang sangat shahih. Keluhan yang timbul akibat hegemoni persepsi kapital finansial yang sangat kuat dimana pada tingkat warga orang per orang berartikulasi sebagai konsumtifisme dan produktifitas yang diukur dengan upah. “Regenerasi petani sangat mengkhawatirkan saya. Anak-anak muda yang dilahirkan dari kami-kami ini banyak yang tidak melihat pertanian sebagai sebuah pilihan yang penting diyakini. Bagi mereka pertanian adalah pilihan terakhir jika usaha mereka gagal untuk menjadi pekerja, baik di pemerintahan mapun sektor swasta….” Meski ia menggunakan Partai Demokrat sebagai kendaraannya, ia lantang mengkritisi dunia politik yang tidak ada urusannya sama sekali dengan masalah yang dihadapi rakyat…. http://www.blogdash.com/full_profile/?claim_code=5564bbe6d1193d18d1c57542b36614ed

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.