Skip to main content

90 km dalam 12 Jam

Di jaman internet, di jaman ketika semua kebutuhan hidup dipenuhi dengan sekali tekan tombol pada telepon genggam pintar, saya harus menempuh serentang jalan sepanjang 90 km dalam waktu 12 jam! Kecepatan rata-rata mobil sewaan yang saya tumpangi menempuh perjalanan dari Polewali ke Mamasa adalah 7 km/jam! Inilah lelucon Indonesia yang paling tidak lucu di era demokratisasi, era desentralistik, era pemekaran wilayah administrasi, era percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi, serta era industrialisasi politik, pendidikan dan kesehatan….

DSCN0474_resized
“Perilaku manusia terhadap ekosfer telah menjadi disfungsional dan sekarang bisa dibilang mengancam keamanan dirinya sendiri untuk jangka panjang. Masalah sebenarnya adalah bahwa dunia modern tetap berkekuasa atas imajinasi mitos budaya yang berbahaya. Sebagian besar pemerintah dan badan-badan internasional tampaknya percaya bahwa upaya manusia entah bagaimana harus dapat memisahkan diri dari lingkungan, sehingga siap untuk melakukan ekspansi tak terbatas..” – Prof. William Rees, ahli perencanaan ekologik dari Universitas British Columbia.
Kutipan di atas merupaakn komentar Prof William Rees terhadap buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (di beberapa negara berjudul Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive) yang diterbitkan pada 2005 dan ditulis oleh Jared M. Diamond, seorang profesor bidang geografi dan psikologi dari University of California, Los Angeles (UCLA). Collapse memaparkan keambrukan masyarakat manusia yang melibatkan faktor-faktor kemerosotan kualitas hidup dan lingkungan hidup, sengketa dan konflik antarkelompok manusia, serta lumpuhnya mekanisme pertukaran barang dan jasa atau perdagangan, yang dipengaruhi perubahan iklim. Buku ini juga memaparkan bagaimana masyarakat manusia menanggapi faktor-faktor peubah tersebut. Hal penting yang disampaikan Jared Diamond adalah pentingnya kita membaca, mencermati dan menelaah satu masyarakat manusia dan ruang hidupnya dengan merujuk sejarah panjang tentang perubahan-perubahan yang dialami serta bagaimana mereka menanggapinya.

'Pembangunan' sebagai frase menarik dalam leksikon pertumbuhan berbangsa di muka planet merupakan sesuatu yang diburu negara-negara baik di Dunia Pertama Kedua maupun Ketiga. Namun pencarian dan perburuan terhadap 'pembangunan', yang kemudian menjadi keyakinan tak-terbantahkan (aksioma) ekonomi-politik kontemporer justru berlangsung lebih intensif pada hiruk-pikuk perekonomian 'Dunia Ketiga'. Inilah thesis Prof. Rees tentang imajinasi kemakmuran yang menjadi agama baru kehidupan berbangsa di muka planet Bumi, yang menjadi arena pertarungan dan perebutan pengaruh diantara negara-bangsa untuk memperluas daya-jangkau dan daya-kendali mereka atas kapasitas terpasang sumber-sumber buruh, sumber-sumber bahan mentah alam (baik terbarukan maupun yang tidak terbarukan), serta lahan-lahan baru. Agama kemakmuran yang dicangkok dan secara intensif dikarbit pada awal masa Orde Baru, yang difasilitasi oleh negara-negara industri kaya (yang hingga awal abat ke-19 disebut bangsa penjajah ata colonialist) yang lapar terhadap buruh murah tak-trampil, bahan mentah alam, serta sumber-sumber energi berbasis hidrokarbon.

Maka paradoks kemakmuran meletup dan mewujud sebagai suatu eksternalitas, hasil yang tidak direncanakan dan mesti disembunyikan di bawah karpet agar tidak mencederai citra positif imajinasi kemakmuran, yang hingga saat ini menjadi tekanan dan ancaman yang dihadapi warga kebanyakan, yang tidak dilibatkan dalam proses-proses perencanaan teknokratik dan politik ‘pembangunan’. Ambisi para pelaku ekonomi dan politik di wilayah, yang menjadi juru dakwah imajinasi kemakmuran ‘pembangunan’, adalah memperluas daya-jangkau dan daya-kendali industrialisasi. Suatu proses percepatan dan perluasan kemampuan keruk atas lahan dan kekayaan alam serta kapital sosial untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang mampu (dan dimampukan) mengakses dan menikmati barang dan jasa industrial. Kehadiran deretan warung dan kios di kampung-kampung terpencil, yang menjajakan kudapan berpengawet dan dikemas dengan warna mengundang liur serta dibungkus plastik dan alumunium, menjadi pemandangan yang miris. Apalagi jika mencermati tanggal kadaluwarsa kudapan tersebut, maka kesimpulan terbaik adalah bahwa kampung-kampung terpencil itu sudah menjadi lokasi buangan kudapan industrial atas nama efisiensi produksi akibat terbatasnya daya-tampung gudang. Argumen penolak yang digunakan kalangan industrialis (yang selalu disokong aparat birokrasi dan politisi) selalu tentang keterbatasan daya-jangkau distribusi barang akibat buruknya infrastruktur. Potret tersebut tidak hanya terbatas tentang kudapan kemasan tetapi juga melibatkan obat-obatan dan minuman pabrikan.

Apa yang saya alami dan cermati pada kunjungan ke wilayah-wilayah terpencil di sekujur Nusantara selalu menunjukkan pola yang konsisten, yakni eksodus dan transformasi yang cepat sekelompok manusia meninggalkan identitas mereka untuk mengejar identitas baru bernama warga industrialis, tetapi mereka tidak pernah berhasil meraihnya. Untuk kembali ke identitas asal dianggap bukan pilihan. Bagi mereka, tidak ada pilihan selain mempergiat kerja dan upaya untuk terus menjadi warga industrialis sebagai ambisi kolektif, yang justru kemudian menyajikan potret-potret paradoks imajinasi kemakmuran ‘pembangunan’. Maka jalan moderen beraspal atau yang berlapis beton kongkret yang membelah bukit, pegunungan dan kawasan-kawasan hutan alam adalah siasat multi-fungsi: Membuka wilayah keruk baru, membangun saluran distribusi hasil keruk, dan saat yang sama membuka peluang pengikut baru (baca: konsumen) agama kemakmuran ‘pembangunan’ sekaligus jalur pengerahan tenaga-tenaga buruh murah tak-trampil untuk mempercepat proses keruk. Jadi ada satu faktor yang dilupakan Jared Diamond dalam bukunya, Collapse, yakni upaya perburuan ruang-ruang baru untuk pengerukan kekayaan alam guna memenuhi konsumsi masyarakat industrialis, merupakan faktor pendorong yang memainkan peran penting yang dimulai bahkan sejak abad ke-14, ketika penjelajah dari Eropa, Arab dan Cina mengarungi samudera-samudera utama planet Bumi.

Jarak astronomik 90 km menjadi tidak relevan ketika kita duduk di atas mobil sewaan dari Polewali menuju ibukota Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Pada saat Indonesia tengah berusaha menjadi entitas negara yang demokratik, desentralistik, dan (bermimpi) industrialistik, pertanyaan yang paling tepat adalah, “Berapa jam lagi kita tiba di Mamasa?”

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.