Skip to main content

RUU Liberalisasi Perdagangan

Saya sangat geram membaca naskah akademik RUU Perdagangan yang saat ini sedang dibahas DPR.

Oleh Revrisond Baswir | Kompas | 14 Februari 2013
1159577p
Dalam naskah akademik (NA) yang disusun Kementerian Perdagangan itu, kita tidak hanya dapat menyaksikan buruknya apresiasi Kementerian Perdagangan terhadap Pasal 33 UUD 1945. Dari berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu, kita dapat menelusuri kecenderungan Kementerian Perdagangan melecehkan Pasal 33 UUD 1945.

Hebatnya, pelecehan terhadap Pasal 33 UUD 1945 itu vulgar sejak halaman pertama. Simak, misalnya, Bab I.A.1 butir g mengenai Landasan Filosofis yang mendasari penyusunan NA itu. Menurut NA tersebut, ”Market mechanism is the best mechanism for the economy.”

Dengan landasan filosofis yang diadopsi secara mentah-mentah dari paham ekonomi liberal itu, kandungan berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu menjadi mudah ditebak. NA RUU Perdagangan tampaknya memang disusun sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menyingkirkan Pasal 33 UUD 1945.

Demokrasi ekonomi

Gambaran yang lebih jelas mengenai pelecehan Pasal 33 UUD 1945 yang dilakukan NA RUU Perdagangan itu dapat disimak dalam Bab II dan III. Sebagaimana dikemukakan oleh NA tersebut, asas-asas yang digunakan dalam menyusun NA itu antara lain mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 (hasil amandemen keempat). Sehubungan dengan itu, salah satu asas yang digunakan dalam menyusun NA RUU Perdagangan itu adalah asas demokrasi ekonomi.

Sepintas lalu pencantuman asas demokrasi ekonomi itu memang tampak heroik. Namun, bila dikaji lebih jauh, akan segera diketahui bahwa tindakan itu sesungguhnya hanyalah basa-basi.
Sikap basa-basi itu antara lain dapat disimak pada tiadanya definisi yang jelas. Bahkan, menyimak uraian yang terdapat dalam NA itu, tidak berlebihan bila ditarik kesimpulan bahwa menurut Kementerian Perdagangan, demokrasi ekonomi sesungguhnya hanyalah slogan kosong yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Sebagaimana dikemukakannya dalam Bab II butir a, ”Demokrasi ekonomi menganut asas keberpi- hakan pada rakyat, dilakukan oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat.”

Bandingkanlah uraian itu dengan dua definisi demokrasi ekonomi berikut. ”Economic democracy is a socioeconomic philosophy that proposes to shift decision-making power from corporate shareholders to a larger group of public stakeholders that includes workers, customers, suppliers, neighbors and the broader public,” (http://en.wikipedia.org/ wiki/Economic_democracy. Diakses pada 31 Januari 2013).

Economic democracy, conceptualized in the wake of Rancière as a permanent struggle against the oligarchy of owners, lies in the coordination of economic action (through cooperation), workers’ demands (through trade unions) and political action, since, more than ever, the social power of wealth relies on state power,” (Rousselière, 2004).

Sejalan dengan kedua definisi demokrasi ekonomi itu, amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk melembagakan tiga hal berikut dalam menyelenggarakan demokrasi ekonomi di Indonesia menjadi mudah dipahami: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

NA RUU Perdagangan itu tampaknya tidak tertarik dengan amanat Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3. Sebab itu, ketika berbicara mengenai peran pemerintah dalam Bab III.B.3, ia justru memulai uraiannya tentang peran the invisible hand. Menurut NA itu, ”Dalam ekonomi pasar, harga merupakan instrumen pada saat bekerjanya invisible hand. Invisible hand umumnya juga menjamin alokasi yang efisien atas sumber-sumber daya.” 

Liberalisasi perdagangan

Bertolak belakang dengan sikapnya yang cenderung melecehkan Pasal 33 UUD 1945, sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional cenderung sangat ramah. Pembahasan tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan dengan penuh simpati dan penghormatan.

Simak misalnya pembahasan mengenai hierarki berbagai kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab III.B.3. Menurut NA itu, berbagai kerja sama perdagangan internasional yang selama ini diikuti Indonesia dapat disusun dalam hierarki berikut.

Posisi tertinggi diduduki Organisasi Perdagangan Dunia, disusul oleh Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Di bawah APEC terdapat Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC. Selanjutnya, di bawah ARF, terdapat ASEAN +3 dan ASEAN +1. Akhirnya, di bawah ASEAN +1, terdapat berbagai kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral.

Menurut NA itu, kerja sama bilateral sesungguhnya memiliki kelemahan. ”Kelemahan kerja sama bilateral adalah kemungkinan terjadinya Hub-Spokes Problem di mana jumlah komoditas nasional yang akan diliberalisasikan menjadi jauh lebih banyak ketimbang bila ia maju atas nama ASEAN. Namun, apabila kerja sama bilateral tidak dilakukan, negara anggota yang tidak melakukan akan mengalami kerugian (opportunity cost) karena negara anggota lainnya sudah terlebih dahulu (first mover advantage) melakukan kerja sama bilateral.”

Sikap hormat berlebihan NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional dapat disimak ketika ia berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut NA itu, ”Pemerintah mengatur perdagangan dengan tidak melanggar hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian internasional: WTO, GATS, ASEAN Economic Community dan lain-lain.”

Betapa sangat ramah sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional. Untuk tujuan apakah sesungguhnya RUU Perdagangan disusun, untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 atau untuk menyingkirkannya?
Revrisond Baswir Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
















Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.