Skip to main content

Naif atau Pura-pura Bodoh: PBB dan Planet Bumi

Pada perayaan ulang tahun Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup (UNEP) ke-40 dicanangkan gerakan global penanganan masalah lingkungan hidup dari mulai bahan kimia beracun hingga perubahan iklim lewat pemajuan dan penggalakan ilmu pengetahuan atau sains. Ini sungguh sebuah pameran kenaifan atau sandiwara yang menganggap warga planet ini bodoh?


Kenaifan atau pameran kebodohan pertama adalah soal kesalahkaprahan sains itu sendiri. Sains dianggap sesuatu yang netral, bebas nilai, bebas kepentingan dan berdaulat. Saya berharap yang dimaksud sains di sini bukan perangkat ilmu dan pengetahuan yang selama berabad-abad telah menjadi hamba setia kalangan industrialis kaya yang terus menaikan nilai batas-laba (profit margin) mereka dengan membuang eksternalitasnya ke ruang publik. Apa pun disiplinnya, baik itu bahasa, sosial, budaya, ekonomi, mtematika, kimia, fisika, biologi, serta epistomologi hiibrida yang dilahirkn untuk menanggapi perubahan.

Butuh waktu limabelas tahun bagi Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), sebuah panel para ahli yang bertugas menelaah dan melaporkan status planet menghadapi perubahan iklim, untuk menyimpulkan bahwa perubahan iklim dipicu oleh perilaku dan tindakan manusia demi memajukan kehidupan mereka yang telah menimbulkan faktor-faktor penyebab dan pendorong kenaikan suhu atmosfer bumi. Limabelas tahun adalah waktu yang masuk akal untuk menjelaskan betapa IPCC tidak berdaulat dan bekerja atas pesanan. Mereka tidak lebih dari tukang jahit pakaian, dimana rancangan dan bahan-bahan yang digunakan tidak bebas dari pergulatan pengaruh diantara pemain-pemain kelas raksasa di industri energi, pangan dan mineral, yang senantiasa melibatkan kecanggihan industri perang dan kekerasan.

Artinya, dengan semakin terbukanya jagad, semakin mudahnya warga planet untuk saling terhubung, saling bertukar informasi dan tercerahkan, agenda UNEP terasa sekali kedangkalannya. Yang dibutuhkan bukan peran UNEP. Tetapi badan super kelas jagad yang imparsial tetapi memiliki keberpihakan terhadap wilayah-wilayah miskin dan yang dimiskinkan oleh industri yang rakus lahan, rakus air, rakus energi fossil, rakus bahan mineral, rakus bahan hayati, dan rakus buruh murah! Apa yang dicanangkan UNEP adalah usaha menjawab pertanyaan yang salah. Apa pun jawaban yang diberikan pasti salah karena arsitektur pertanyaannya sudah salah sejak dibuat. Atau mungkin sengaja dirancang demikian?

Dari sekian banyak sub-organisasi atau aparatus PBB agenda-agenda pengendalian planet Bumi justru dipegang oleh Dewan Keamanan, serta yang berurusan dengan ekonomi dan perdagangan dunia, dimana hak suara negara-negara industri kaya mendominasi negara-negara bekas jajahan yang berlimpah kekayaan alam dan jumlah penduduk tak berlahan. Sudah cukup kita, warga planet, menyibukkan diri pada agenda-agenda yang di ujung hari tidak akan pernah berhasil membalikkan krisis kehidupan manusia, yang diorganisir secara rapih oleh UNDP, ILO, FAO, UNFCCC, UNICEF, UNESCO, UNFPA, dan sebagainya. Apalagi agenda dari sub-badan tak bergigi bernama UNEP?

Badan-badan yang membutuhkan biaya overhead sangat tinggi itu semakin hari semakin kasat sosoknya tidak berneda dengan perusahaan-perusahaan jasa konsultansi. Mati hidupnya bergantung pada iuran bersifat progresif yang dibayar oleh negara-negara anggotanya. Apakah iuran yang dibayar negara kere, seperti Indonesia, sudah bermanfaat bagi warganya dalam menjaga keselamatan diri dan berproduksi untuk mempertahankan hidup? Inilah arsitektur pertanyaan yang tepat (Tolong jangan dilupakan utang negara-negara industri kaya dalam membayar iuran keanggotaan PBB yang terus membengkak, tanpa berpengaruh terhadap hak suara mereka)

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.