Skip to main content

Sepenggal Lahan: Dongeng Sebelum Tidur yang Membuat Tidur Tidak Nyenyak

Tidak terbayang oleh bu Sukri, orangtua tunggal dari tigak anak yang semuanya berusia di bawah sepuluh tahun, bahwa lahan yang diwariskan oleh mendiang suaminya menjadi sebuah terror justru setelah surat-suratnya ia bereskan. Ia mengikuti anjuran kepala desa, yang mengatakan pentingnya kepastian hukum kepemilikan atas lahan dengan memiliki sertifikat.


Bu Sukri tidak melihat ada yang salah dengan anjuran itu. Yang bu Sukri tidak pahami adalah, ketika lahannya berstatus hukum maka apa yang diwariskan mendiang suaminya berubah menjadi sesuatu yang bisa dengan mudah dipindahtangankan lewat transaksi dengan harga yang berlaku di pasaran. Lahan yang selama ini digarap bu Sukri dan mendiang pak Sukri adalah sebagian dari sepenggal lahan yang dikuasai keluarga besar mendiang, yang batas-batasnya diakui dan dihormati para pemilik lahan yang bertetangga.

Tidak terpikir oleh bu Sukri bahwa setiap depa lahannya ternyata diberlakukan harga yang sama, yang apabila dijumlahkan maka diperoleh harga dari lahan seluas 1.500 meter persegi itu. Yang selama ini ia pahami, setiap depa lahan punya makna dan nilai yang begitu meresap dalam kehidupan sehari-hari keluarganya sebagai suatu jaminan kehidupan yang berdaulat, yang telah memenuhi kebutuhan dari sayur mayur, umbi-umbian dan buah-buahan yang ditanam, serta sebagai ruang bermain bagi anak-anak. Sebagian sayur, umbi-umbian dan buah-buahan dipakai untuk konsumsi sehari-hari keluarganya. Sayur, umbi-umbian dan buah-buahan yang berlebih biasanya ia jual ke pak Roso, yang akan dibawanya ke pasar desa, sementara sebagian lagi ia bagi ke tetangga, atau ke beberapa saudara iparnya yang juga tinggal di desa yang sama. Rutinitas itu agaknya sulit dipertahankan bu Sukri ketika lahannya sudah menjadi obyek pajak yang diberlakukan oleh sistem negara yang penyelenggaraannya tidak ia pahami sepenuhnya.

Semua kisah itu bermula dari kedatangan Mursyid, anak sulung kepala desa yang sudah pindah ke kota dan kabarnya bekerja untuk sebuah perusahaan yang menjual rumah mewah. Bu Sukri begitu kebingungan dengan kata-kata yang dilontarkan pemuda itu, yang menurutnya begitu mencengangkan. Mursyid bicara tentang kesempatan naik haji, memiliki mobil atau motor, membeli rumah gedung, menyekolahkan ketiga anak-anaknya ke sekolah yang lebih baik di kota, dimana hal itu hanya bisa diwujudkan jika bu Sukri punya uang. Saya juga tahu, gumam bu Sukri dalam hati. Yang bu Sukri heran bagaimana Mursyid paham kalau lahan seluas 1.500 meter persegi itu ternyata harganya (baca: bukan nilainya) sama dengan biaya keseluruhan yang dibutuhkan sekaligus untuk naik haji, membeli rumah gedung, membeli sebuah mobil buatan Jepang keluaran terbaru, dan biaya ketiga anak-anaknya ke kota?

Mursyid pun menjelaskan tentang harga lahan yang berlaku di pasaran. Ia juga menginformasikan bu Sukri tentang hubungan antara harga yang berlaku di pasaran dengan berapa pajak bumi yang dibebankan negara kepada pemilik sah lahan. Meskipun Mursyid tidak mampu menjawab pertanyaan bu Sukri tentang dasar penetapan harga yang berlaku di pasaran, pemuda itu dengan gigih mengalihkan perhatian dengan menjabarkan tentang perkembangan jaman yang menuntut orang untuk memiliki uang tabungan serta pola hidup moderen yang lebih efisien dan praktis. Mursyid pun gagal menjawab pertanyaan bu Sukri, sampai kapan ia akan dapat menggunakan uang hasil penjualan lahan untuk memenuhi konsumsi sehari-hari apabila ia tidak lagi dapat mengolah lahan itu, sementara perempuan orangtua tunggal itu tidak memiliki kecakapan selain berkebun dan mengurus rumah tangga. Mursyid yang sudah dianggap bu Sukri sebagai kemenakan sendiri tiba-tiba hadir dengan sosok yang asing, yang begitu agresif mempengaruhi cara berpikir perempuan orangtua tunggal itu untuk menetapkan satu kebutuhan yang saat itu tidak ia butuhkan, atau setidaknya tidak terlintas sama sekali dalam pikirannya.

Penolakan bu Sukri di hari Minggu membuat Mursyid berkunjung lagi di hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Sabtu. Mursyid masih tetap dengan pemaparannya tentang kehidupan yang, menurut pemuda itu, makmur dan sejahtera. Meski ia senantiasa gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan bu Sukri tentang hal-hal mendasar, pemuda itu selala mampu dengan lincahnya berkelit dan mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain tentang hidup yang lebih wangi, lezat dan kemilau. Pertanyaan bu Sukri tentang kesehatan dan pendidikan dijawab Mursyid dengan kisah yang menceritakan kehebatan industri asuransi. Maka Mursyid pun berkisah tentang asuransi pendidikan bagi ketiga anak-anak bu Sukri, dimana pada setiap periode tertentu ia akan menerima uang yang dibutuhkan untuk membiayai sekolah sesuai jenjang masing-masing. Juga tentang asuransi kesehatan, dimana bu Sukri dan ketiga anak-anaknya akan ditanggung seluruh biaya pengobatan dan perawatan kesehatan jika ia menyetor sejumlah uang kepada perusahaan asuransi.

Bu Sukri perlahan mulai menyadari bahwa ada yang tidak pas di benak dan hatinya, terutama ketika ia berbincang dengan pak dan bu Larsa, tetangganya ketika mereka sedang menitipkan sayuran, umbi-umbian dan buah-buahan ke pak Roso. Mursyid ternyata juga rajin menyambangi pak dan bu Larsa, juga dengan kisah yang sama tentang kehebatan yang akan mereka miliki jika mereka memiliki uang dalam jumlah banyak yang hanya dapat diperoleh dengan menjual lahannya. Pak Larsa mengatakan mereka masih belum berani mengiyakan Mursyid, tetapi laki-laki yang masih gagah di usianya yang separuh abad itu, menginformasikan bu Sukri bahwa keluarga Sutandyo sudah membuat persetujuan dengan Mursyid. Bahkan sekarang, kata bu Larsa, bu Tandyo ikut-ikutan rajin menyambanginya dan menceritakan dongeng yang sama dengan yang dituturkan Mursyid, malahan dengan pemanis yang lebih kental. Demikian halnya dengan keluarga Aslan, yang memiliki lahan seluas 3.000 meter persegi.

Bu Sukri semakin gelisah ketika pada kunjungannya yang kesekian Mursyid tidak sendirian. Ia berkunjung dengan beberapa orang yang berpakaian lebih necis, salah seorang dari mereka adalah perempuan berusia duapuluhan dengan dandanan yang begitu meriah. Mursyid mengatakan bahwa orang-orang yang menemaninya ingin memberikan kesaksian tentang keberhasilan mereka meraih kemakmuran setelah setuju mengikuti saran-sarannya. Seperti biasa, bu Sukri dengan polosnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, yang juga tidak bisa mereka jawab. Saking gelisahnya bu Sukri pun mendatangi kepala desa dan menceritakan apa yang ia alami dengan Mursyid, dan menanyakan pendapatnya. Kepala desa pun setali tiga uang. Dibumbui kebanggan pada anak laki-lakinya, Mursyid, kepala desa berkisah tentang rencana-rencana yang akan ia lakukan dalam waktu dekat, seperti pesiar ke Jakarta, naik haji, dan membeli sebuah mobil buatan Jepang. Kepala desa juga mengatakan bahwa ia setuju melepas sebagian lahan yang ia miliki, supaya ia bsia mewujudkan rencana-rencana hebat itu.

Upaya Mursyid untuk meyakinkan bu Sukri menjual lahannya tetap tidak membuahkan hasil hingga bulan ketiga. Pada bulan keempat kepala desa mulai turut menemani Mursyid. Bahkan pernah suatu ketika Mursyid dikawani oleh dua laki-laki bertubuh gempal, berwajah garang dan duduk diam mengapit Mursyid, ketika mengunjungi bu Sukri. Mursyid sekilas menyebutkan bahwa kedua laki-laki itu adalah orang yang baru bebas dari penjara (tanpa menyebutkan mengapa mereka dipenjara). Tentu saja ibu dari tiga anak-anak berusia di bawah sepuluh tahun itu merasa terintimidasi dengan kehadiran dua laki-laki itu bersama Mursyid. Pada kunjungan itu Mursyid tidak lagi berkisah tentang kehidupan moderen yang makmur dan sejahtera, tetapi menceritakan tentang akibat yang diterima orang-orang di desa lain yang menghambat pembangunan ekonomi yang dibutuhkan untuk memakmurkan masyarakat desa. Kali ini bu Sukri tidak berani bertanya. Ia menutup mulutnya rapat. Bahkan hingga Mursyid dan dua laki-laki garang itu berpamitan.

Setelah menidurkan ketiga anaknya, bu Sukri duduk tercenung di ruang tengah. Ia sudah mendengar bahwa keluarga Larsa sudah setuju menjual lahannya minggu lalu. Berbeda dengan keluarga Sutandyo yang gemar berkicau tentang rencana-rencana hebat mereka dari uang yang diperoleh dari hasil menjual lahan, keluarga Larsa memilih tutup mulut. Bu Sukri sungguh tidak mampu membayangkan seperti apa kehidupannya dengan ketiga anaknya nanti apabila ia tidak lagi tinggal di rumah ini, tidak lagi bisa mengolah lahan seluas 1.500 meter persegi yang diwariskan mendiang suaminya itu. Kisah-kisah yang lezat, wangi dan hebat tidak mampu menggantikan gambar-gambar muram yang mewakili kekhawatiran bu Sukri. Bu Sukri benar-benar kebingungan dengan situasi yang ia hadapi sepanjang tiga bulan terakhir, justru ketika ia sudah berusaha menjadi warganegara yang baik. Sertifikat lahan yang ia buat, atas anjuran kepala desa, sebagai sumbangannya sebagai warganegara untuk kepastian hukum, ternyata berubah menjadi mimpi buruk.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.