Skip to main content

Ambisi versus Mandat

Saya curiga Prabowo Subianto tidak paham makna kedaulatan. Karena apa yang ia gembar-gemborkan sejak 2009 hingga menjelang peresmian statusnya seabgai calon presiden, takluk dengan mudah ketika SBY berpidato dengan nada emosional, "Jangan pilih capres yang gembar-gembor tentang nasionalisasi tambang dan perusahaan multinasional!" Pernyataan-pernyataan apologia bertebaran tanpa malu di media-media massa, cetak maupun elektronik, baik oleh juru-bicara Gerindra maupun partai politik gerbong-gerbong belakang koalisi. Hatta Rajasa, sebagai makelar kelas wahid investasi lintas-negara (transnational investment), tampil menolong dengan menyatakan frasa eufemistik, "renegosiasi kontrak". Bahkan sang makelar tersesat di kalimat-kalimatnya sendiri.

Kedaulatan yang dibacakan Prabowo Subianto sebatas tentang asing versus lokal. Bolehjadi yang dimaknai dengan nasionalisasi adalah sebatas pemindahtangan dari perusahaan asing ke perusahaan lokal, dimana khalayak luas mahfum bisnisnya yang mencakup batubara, sawit, dan tambang mineral serta minyak dan gas. Dia tidak menyebut sama sekali tentang kedaulatan rakyat karena, ini pun saya curiga, dia tidak kenal dan tidak paham siapa itu rakyat. Bolehjadi yang dia pahami siapa itu rakyat adalah orang-orang berseliweran di sekelilingnya yang dia lihat dari atas pelana kudanya. Hal itu tampil begitu konsisten.

Seorang Fadli Zon, yang kabarnya orang yang cerdas, pernah menjadi mahasiswa teladan UI di tahun 90an, seperti kehilangan akal sehatnya ketika mencoba bermain kata dan frasa, membela serangan terhadap Prabowo tentang sikap militeristik dan dugaan keterlibatan dalam beberapa pelanggaran HAM berat. Demikian halnya dengan upacara rekonsiliasi gadungan antara Prabowo dengan keluarga mahasiswa Trisakti yang menjadi korban huru-hara Mei 1998. Begitu pongahnya mereka mempertontonkan drama palsu di atas panggung, seakan-akan kami ini bodoh dan mudah percaya pertunjukkan yang naskahnya buruk dengan kemampuan seni-peran pas-pasan.

Lelah berkelahi di domain substansi, maka dengan pengerahan pembiayaan yang luar biasa besar, digerakkan sebuah serangan massif lewat beragam modalitas media. Strategi puting beliung digunakan demi merobohkan satu sosok kerempeng, yang awalnya maju mundur ketika didorong-dorong berbagai pihak untuk maju ke panggung kontestasi pemilihan presiden 2014. Pernyataan Amin Rais tentang strategi perang Badar cukup mengonfirmasi hal tersebut.

Strategi militeristik kalap berangkat dari kesadaran tentang lemahnya sisi substansi dari seorang Prabowo Subianto, yang memang secara terencana dan sistematik menumbuhkan ambisinya menjadi Presiden Republik Indonesia bahkan sejak kepulangannya dari semadi panjang di Yordania. Disimpulkan, bahwa bombardir ke media publik tentang sosok Prabowo Subianto jauh sebelum tahun 2014 akan mempengaruhi keputusan khalayak luas untuk menghapus sosoknya yang kerap digambarkan sebagai temperamental dan pantang ditolak. "He (must) always gets what he wants." Substansi bisa diletakkan di belakang. Kalau perlu outsource.

Energi yang begitu besar dikerahkan demi memenuhi ambisi menjadi Presiden sama sekali tidak ada urusannya dengan apa yang akan terjadi apabila dia benar-benar memenangkan kontestasi ini, at any costs. Dan itu terlihat jelas pada sikap-sikap oportunistik dan kompromistik, yang sangat jauh dari slogan murahan tentang ketegasan, ketika dia membuka pintu membangun mozaik koalisi pendukung pencalonannya. Saya sebut mozaik karena memang sesungguhnya compang-camping, meski fashion-nya apik dan seragam. "Yang penting menang dulu.." Atau, "Mereka kan cuma karcis untuk dapat naik ke panggung kontestasi." Sangat jauh dari gambaran kegagahan yang dipertontonkan di media-media kaca, naik kuda seperti halnya seorang aristokrat dan memandang hamparan lahan yang dia kuasai.

Itu sebabnya tulisan ini dibuka dengan dugaan bahwa Prabowo tidak paham apa itu makna kedaulatan. Karena ini adalah soal ambisi seseorang, yang sejak lahir hingga dewasa hidup berkecukupan dan bahkan hidup di lingkar-dalam kekuasaan, untuk menjadi sosok nomor satu di negeri amburadul bernama Republik Indonesia. Oleh karena itu kita mesti maklum terhadap perilaku, gerak-gerik dan tindak-tanduk yang dipertontonkan untuk memenangkan pilihan sebagian besar rakyat Indonesia. Tidak perlu diperdebatkan tentang kegemarannya tampil gagah, naik kuda, atau pameran-pameran kekusaaan lain. Memang begitulah adanya. Karena ini, sekali lagi, adalah kerja keras untuk memenuhi ambisi menjadi seorang Presiden Republik Indonesia. Jadi saran saya, hentikan pidato kosong dan omong kosong tentang kedaulatan. Lanjutkan saja serangan-serangan terhadap calon lawan. Karena saya yakin beliau pun paham, bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang.

Baginya, mandat rakyat diperoleh (hanya) lewat pemungutan suara. Dan itu tersurat pada pidato-pidatonya belakangan ini, baik pada saat pengambilan nomor urut maupun deklarasai kampanye damai. Hanya sebatas itu. Siapa yang memandatkan dirinya maju ke kontestasi? Dirinya sendiri. Itu sudah cukup menggambarkan kuat dan besarnya ambisinya menjadi Presiden Republik Indonesia. Mari kita hormati itu.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.