Skip to main content

Memahami "Revolusi Mental" - Sulitkah?

Diskusi tentang Indonesia yang amburadul dan kere sudah berlangsung lama. Sebagian besar sepakat bahwa masalahnya terpusat pada manusia. Namun justru di situlah titik plintir kemandegan perubahan. Ketika sekelompok manusia berkumpul, baik di tingkat paling terbatas, seperti keluarga, kemudian masyarakat hingga lingkup besar, negara bangsa, maka perbedaan diantara perorangan dan kelompok terkait kuasa dalam mengendalikan orang atau kelompok lain, menimbulkan sekat-sekat kelas. Perubahan atau status quo ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa dan mampu mengendalikan kelompok orang lain. Sebagai sebuah kampanye "Revolusi Mental" yang diusung Joko Widodo memiliki dua dimensi: (a) titik berangkat untuk memulai perubahan; dan (b) lingkup terkecil untuk memulai perubahan. Titik berangkat digelegarkan sebagai sikap tauladan pemimpin. Perubahan harus dimulai dari pemimpin. Sementara lingkup terkecil yang dipengaruhi oleh sikap tauladan pemimpin dapat didorong dari diri sendiri kemudian kedudukannya sebagai bagian dari satuan-satuan sosial, mulai dari keluarga, masyarakat hingga bangsa. "Revolusi Mental" adalah bacaan yang harus dibongkar, ditafsir dan dibangun-ulang secara kreatif dari beragam perspektif, bukan suatu konsep final yang tidak dapat dikritisi.

 

Comments

Popular posts from this blog

Seandainya...

Seandainya kita bisa memilih siapa orang-orang yang kita kenal untuk terus bersepakat, seiya sekata sepanjang masa, mungkin kehidupan di planet ini begitu kering. Meski mereka adalah orang terdekat sekalipun, kenyataannya kita tidak bisa mengendalikan mereka. Berbeda adalah keniscayaan.

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Pesta Demokrasi, Pesta Rakyat? Bah!

Mencermati politik baku caci, baku hujat dan baku tikam yang dipertontonkan pada Road To DKI1 , jargon-jargon kosong yang digelontorkan para Pasangan Calon pada setiap kesempatan tidak lebih dari kalimat-kalimat sampah yang dipaksakan sebagai argumen tentang kepemimpinan. Campur aduk konteks kepemimpinan ( leadership ) dengan kemampuan mengelola ( management ) yang agaknya tidak dipahami oleh para Pasangan Calon serta rombongan pendukung masing-masing, menunjukkan kebangkrutan politik Indonesia. Kesempatan besar perombakan besar-besaran melalui Reformasi sudah lama terlewat. Bongkar pasang aturan, prosedur dan tata-kerja politik dan birokrasi yang didorong seperti halnya Ledakan Dahsyat ( Big Bang ) saat itu, sama sekali tidak menyisakan bekas atau ampas-ampasnya saat ini. Indonesia saat ini berada pada situasi mirip ketika sekelompok kera di hutan berproses memilih pemimpin mereka.