Skip to main content

Revolusi Mental2: Menghadirkan Negara yang Bekerja

Pada peringatan tujuh hari meninggalnya KH Abdurahman Chudlori, di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, 31 Januari 2011, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, yang hadir sebagai penceramah mengatakan, reformasi politik ekonomi sosial budaya di negeri ini telah gagal. Maka harus ada perubahan cara pandang masyarakat dan sudah saatnya ada revolusi mental. Pernyataan ini jauh sebelum Joko Widodo, yang dibantu beberapa pemikir, melontarkan Revolusi Mental pada kampanyenya pada Pilpres 2014.

"Mental politisi yang ditularkan pada masyarakat sudah terbentuk atas dasar kapitalisme, segala sesuatu dinilai uang. Mulai dari pejabat tinggi hingga modin semuanya mata duitan," kata Gus Mus. Negara ini, menurutnya, sistem ekonomi yang dikembangkan adalah kapitalisme. Kemudian itu juga yang mendidik masyarakat memiliki pola pikir bahwa uang adalah segala-galanya. Ini terjadi dari masa Orde Baru dan dikuatkan rezim sekarang. "Kalau tidak melakukan revolusi mental, masyarakat kita sakit semua. Pertengkaran antara sesama manusia termasuk juga politik ujung-ujungnya adalah soal uang dan tawar menawar,katanya.

Revolusi Mental pada kampanye Joko Widodo lebih berupa ajakan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk segera dan tidak menunda-nunda melakukan perubahan sikap, perilaku dan etos kerja. Melanjutkan animasi pertama berjudul "Revolusi Mental" yang diproduksi ole ImproCommunications, diluncurkanlah "Revolusi Mental2: Menghadirkan Negara yang Bekerja." Pada animasi kedua ditekankan pada hubungan ketauladanan pemimpin dan perubahan sikap, perilaku dan etos kerja warga negara untuk menumbuhkan suatu sinergitas dalam produktifitas bangsa.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.