Skip to main content

Tauladan versus Pencitraan

Memang serba salah menjadi pemimpin formal kantor publik yang memiliki kesungguhan yang juga dipilih secara politik di Indonesia, seperti walikota, gubernur, menteri dan bahkan presiden. Sebagai rakyat saya menyadari bahwa semakin tinggi tingkatan kelembagaannya, semakin jauh jaraknya dari khalayak luas dan aspirasi mereka. Sehingga orang-orang seperti itu berada di antara kerangka besar (makro) dengan kerangka kecil (mikro). Dari segi urusan mereka harus berada di kerangka besar, tetapi saat yang sama rakyat membutuhkan kehadiran Negara dan pemimpinnya, baik secara emosi maupun fisik. Pada era demokrasi pasar bebas seperti sekarang, dimana sosok pemimpin adalah komoditi politik yang gencar dipasarkan ke khalayak untuk membeli menggunakan suara mereka, ketauladan yang sungguh-sungguh begitu mudah dicecar dan dituding sebagai kerja-kerja pencitraan positif (positive image building).

Ketika demokrasi diartikan dan dilakukan sebagai sikap mendengar dan menyimak suara rakyat, bukan sekedar alat mendulang suara rakyat, bertemu secara fisik dengan rakyat tidak dapat dihindari menjadi cara satu-satunya yang dibutuhkan seorang pemimpin. Bertemu rakyat serta mendengar dan menyimak suara dan aspirasi mereka menjadi berbeda ketika dilakukan pada masa kampanye politik dengan situasi ketika pemilihan umum usai dan mereka secara resmi sudah menjadi pemimpin. Di sinilah saya, sebagai rakyat, bisa mengukurnya. Apakah sikap yang dipertontonkan saat kampanye memang menjadi bagian dari kepemimpinannya atau dia adalah sekedar alat untuk menangguk suara pada saat pemilihan umum. Jika hal itu memang sekedar alat penangguk suara maka perilaku tersebut akan diulangi selepas paruh masa kepemimpinannya, menjelang pemilihan umum untuk periode berikutnya.

Namun mereka yang menggunakan pendekatan rakyat sebagai alat pasti akan menuduh pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja dengan tauladan sebagai orang yang secara konsisten sibuk pencitraan. Di sini saya merasa akal sehat saya dilecehkan. Akal sehat saya sebagai rakyat jelata sudah terlatih membedakan mana pemimpin yang berpura-pura dan mana yang sungguh-sungguh dan ikhlas melakukannya. Ketika orang-orang itu gencar menyebarluaskan pendapat mereka lewat media, kami, rakyat jelata melihat sosok-sosok orang yang panik. Mereka panik karena daya-tahan (stamina) mereka melakukan pendekatan rakyat tidak sepanjang mereka yang melakukannya dengan kesungguhan. Itu sebabnya mereka gencar menyerang. Mereka pikir rakyat jelata seperti saya ini bodoh dan mudah percaya omongan dangkal seperti itu.

Pada masa kampanye Pilpres 2014 sekarang ini pendekatan rakyat menjadi menu utama tontonan media-media massa, cetak, elektronik maupun digital. Kita, rakyat jelata, akan dengan mudah membedakan mana yang digunakan sekedar sebagai alat penangguk suara untuk pemilihan nanti, dan mana yang memang sudah melekat sebagai karakter kepemimpinannya. Sayangnya mekanisme demokrasi pasar bebas tidak akan pernah menangkap ketauladanan karena dia terjebak sekedar sebagai lomba merebut suara sebanyak-banyaknya pada masa pemilihan, yang rawan kecurangan. Saya hanya bisa berharap agar pemimpin yang tauladan dan yang berkesungguhan yang akan memenangkan pemilihan, meskipun dikepung oleh beragam teknik kecurangan, yang sudah menjadi karakter elit politik Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.