Skip to main content

Kita Tanya Ulang, Apakah Demokrasi Hanya Soal Menang-Kalah?

Awalnya saya membaca sikap Prabowo dan koalisinya yang ngotot dengan hasil quick count (QC) yang dipertanyakan kredibilitasnya sebagai dinamika demokrasi. Tetapi begitu saya melihat pernyataannya di depan pers selesai bertemu SBY, saya merasakan kengerian. Ucapannya begitu kekanak-kanakkan. Segala retorika soal kenegarawanan, sikap legowo, dan ucapannya yang demokratik sirna seketika. Saya seperti merasa dia berkata, "This is my time! I can't accept other option." Dan itu terjawab ketika saya membaca dua artikel, yang satu diterbitkan oleh Strait Times (6 Juli 2014) dan yang kedua terbit di New Mandala (10 Juli 2014).

Setelah mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawannya, Joko Widodo, Prabowo berhasil menggalang koalisi yang menggambarkan 63% kekuatan di parlemen ke depan, termasuk dukungan Presiden yang masih berkausa, SBY. Bahkan sebelum bendera start kampanye dikibas oleh KPU Prabowo sudah melakukan orasi berapi-api di beberapa tempat, menuding PDIP dan Megawati serta Joko Widodo mengusung kleptokrasi dan menyebutnya kelompok ingkar janji. Tetapi pada saat Deklarasi Pemilu Damai dan Berintegritas, 3 Juni 2014, semua orasi berapi-api hilang dan berganti dengan sikap santun serta pernyataan penuh puja-puji kepada Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Justru Joko Widodo yang terlihat kaku (karena saat yang sama ia tahu ada orang-orang tak dikenal menemui dan bertanya-tanya ke anggota keluarganya di Solo). Sorot matanya seperti mengucapkan, "Munafik. Cut the craps! Buang semua basa-basi santunmu!"

Yang saya perhatikan, setiap Prabowo melontarkan kalimat-kalimat elegan, seperti Pak Jokowi adalah patriot dan putera terbaik bangsa, dan seterusnya, ia menunjukkan posisi dan sikap sudah (pasti) memenangkan pertandingan. Itu terjadi tidak saja pada Deklarasi Pemilu Damai dan Berintegraitas, tetapi juga pada Debat Pertama, 8 Juni 2014. Tetapi Prabowo sangat terkejut dengan pertanyaan nakal tetapi sensitif yang dilontarkan Jusuf Kalla tentang pelanggaran HAM masa lalu. Sejak itulah Prabowo berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tampak seperti boneka yang harus terus disuntik doping untuk survive. Pernyataan-pernyataan publiknya semakin tidak elegan, ngawur, kasar. Hatta Rajasa pun tidak menolong. Pada Debat Kedua, 15 Juni 2014, Prabowo semakin kedodoran. Ia tampak hanya menghafal data, menghafal kalimat-kalimat canggih yang hanya bisa digunakan di pernyataan pembuka dan pernyataan penutup, tetapi kurang fleksibel kalau digunakan pada perdebatan.

Saat yang sama hidup kita hingga 5 Juli 2014 senantiasa diintimidasi oleh informasi pollster tentang elektabilitasi kedua pasang kandidat. Saya merasa dibodohi dengan angka-angka tersebut. Pada kampanye-kampanyenya yang selalu bergaya parade dan arak-arakan besar, Prabowo semakin tampak tidak layak, karena gayanya yang palsu (saat menari dan berjoget, wajah, sorot mata, gerakannya sama sekali tidak tulus dan ekspresif). Tetapi elektabilitasnya terus menyusul Joko Widodo. Perdebatan pun marak.

Beberapa kalangan mensinyalir kerja-kerja pasukan PKS di belakang kubu Prabowo-Hatta sangat efektif untuk menggerus elektabilitas Joko Widodo - Jusuf Kalla. Juga beberapa propaganda hitam lewat Tabloid Obor Rakyat serta fitnah-fitnah yang sambung menyambung: Jokowi keturunan Cina, Kristen, PKI, dan seterusnya. Saat yang sama politik parade gigantik semi-militeristik dari kubu Prabowo-Hatta terus ditayangkan di TVOne, AnTeve, RCTI, serta media lainnya. Joko Widodo bergeming dengan gaya dan tampilan khasnya, blusukan, menyapa rakyat di berbagai pelosok Nusantara. Hanya Jusuf Kalla yang ditugaskan melakukan kegiatan-kegiatan tipikal kepartaian: Deklarasi, pidato, dan sebagainya. Meski demikian elektabilitas Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap di atas Prabowo-Hatta.

Seperti telah diungkap di atas, debat demi debat pun berlalu, dengan kemenangan relatif Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kedua kontestan punya kelemahan, tetapi pada debat penguasaan domain pengetahuan menjadi penentu persepsi kemenangan publik yang mencermatinya. Joko Widodo-Jusuf Kalla menunjukkan kualitas mereka sebagai pembelajar yang rajin dan cepat serta memiliki kualitas pengambilan keputusan yang menjanjikan. Sementara Prabowo-Hatta sibuk dengan data dan hafalan konteks yang membuat mereka terbata-bata ketika mereka mendapat pertanyaan dari Joko Widodo-Jusuf Kalla yang bisa jadi masih berada di dalam domain pengetahuan mereka tetapi disampaikan secara berbeda.

Singkatnya, kita orang yang berpikir jernih, berakal sehat dan terus belajar, akan mengatakan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan memenangkan Pilpres 2014. Selesai debat terakhir, saya tidur dengan nyenyak. Saya melihat sosok orang yang bijak, bernama Joko Widodo, yang mampu mengendurkan temperamen Prabowo ketika dihajar pertanyaan Jusuf Kalla.

Demikian halnya pada hari Pilpres. Di lingkungan saya tinggal Joko Widodo mendapatkan suara sebesar 157 sementara Prabowo-Hatta hanya 53 suara. Kemudian dari Twitter dan berita-berita online serta informasi dari kawan-kawan, tergambar secara kasar bahwa Jakarta Utara dan Jakarta Barat dikuasai oleh suara Joko Widodo-Jusuf Kalla. Hati saya pun lega. Meski itu tidak menggambarkan secara menyeluruh, gut-feeling saya mengatakan, Joko Widodo-Jusuf Kalla menang berkat partisipasi massif rakyat Indonesia yang mendambakan perubahan. Saya tidak peduli dengan selisih yang berkisar antara 4,4-5,2%. Dengan kata lain, bahkan dengan modus operandi pencurangan yang massif oleh kubu Prabowo-Hatta atau pihak ketiga yang ingin mengacaukan Pilpres2014, Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap memimpin!

Beberapa kawan wartawan menginformasikan saya bahwa Prabowo sedang mempersiapkan deklarasi kemenangan di istana kediamannya di Hambalang, Bogor. Mereka tunggu jumlah suara dihitung hingga 85%, lalu deklarasi. Tiba-tiba, ketika suara dihitung mencapai 83% Joko Widodo-Jusuf Kalla mendeklarasikan kemenangannya. Maka kemurkaan sosok jenderal pasukan khusus yang dipecat secara (tidak) hormat itu pun meledak. Pre-emptive statement Joko Widodo membuat taktik mereka berantakan. TVOne pun dikerahkan untuk membombardir informasi tentang kemenangan Prabowo-Hatta, yang kemudian memicu kontroversi kesahihan metodologi dan kredibilitas hasil tiga pollsters yang disewa kubu itu.

Menyusul hasil hitung cepat delapan pollsters yang diumumkan terus menerus di media digital memberi pengaruh pada pasar modal. Saham MNC dan VIVANews terjun bebas. Demikian halnya dengan saham BUMI dan Adaro, meski tidak separah perusahaan milik Aburizal Bakrie dan Hari Tanoe. Seorang pengamat pasar modal berkomentar di Twitter, "Pasar tidak bisa ditipu. Tindakan buruk perusahaan dihukum oleh pasar!"

Beberapa informasi dari kawan-kawan wartawan agak menyejukkan. "Aku dengar Golkar sudah legowo, kecuali Ical. PPP kelihatannya akan legowo juga. Dan dengar-dengar Hashim pun legowo. Tinggal Prabowo dan PKS yang masih ngotot." Saya berharap mudah-mudahan tanggal 9 Juli malam ada pernyataan legowo Prabowo.

Kemuakan saya memuncak ketika Prabowo, dengan suara serak, wajah sembab dan lebam, mendeklarasikan kemenangannya. Bahkan dengan teriakan Allahu Akbar sebagai latarbelakang, yang dilanjutkan dengan sujud di tanah. Pada pertemuan di kediaman ayah Prabowo, dikatakan bahwa pihak Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat tidak etikal karena mengumumkan kemenangan sementara suara sah belum masuk 100%. Model pernyataannya konsisten, melontarkan tuduhan ke kubu lawan tetapi merujuk taktik mereka sendiri.

Pernyataan yang lebih buruk dan pathetic dilontarkan tak lama setelah Prabowo-Hatta bertemu SBY di kediamannya di Cikeas. Pernyataan kekanak-kanakkan. Pernyataan menang-menangan. Semua pernyataan memusat pada diri mereka: Strategi, taktik dan cara-cara untuk menang dengan segala cara.

Mencermati dan merenungkan berbagai rangkaian peristiwa sejak 29 Mei hingga 9 Juli 2014, saya mengingat dengan baik pernyataan-pernyataan retorik Prabowo-Hatta, baik tentang sikap yang pro-rakyat, menjunjung tinggi demokrasi, Pancasila serta pernyataan patriotik dan heroik tentang kebangsaan dan persatuan. Kata-kata dan frasa-frasa gagah yang dihafal dengan baik oleh kubu Prabowo-Hatta, tetapi memang tidak diniatkan untuk dijalankan. Karena bagi mereka rakyat adalah sumber suara yang harus didulang. Maka kita harus tanya ulang Prabowo-Hatta, apakah bagi Anda semua demokrasi hanya soal menang-kalah? Saya kira kita sudah tahu apa jawab mereka..











Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.