Skip to main content

Hegemoni Persepsi Demokrasi

Begitu laki-laki itu mengatakan, "Anda tidak demokratis!" sembari menunjuk hidung saya, saya mempertanyakan apakah dia benar paham makna demokrasi. Atau, memang ragam definisi demokrasi hanya sebatas yang dia pahami. Atau lebih luas lagi, sepanjang ini tentang hak dan aspirasi rakyat, serta ada rasa menghormati dan menghargai perbedaan?

Pada awal Reformasi, tak lama setelah Soeharto (di/me)lengser(kan)(diri), komentator, pengamat dan narasumber politik bermunculan layaknya jamur di musim penghujan. Untuk mendongkrak nama mereka label almamater S2 dan S3 pun dicantumkan. Semua bicara tentang seperti apa seharusnya demokrasi ditumbuhkan pasca-Soeharto. Media televisi dan radio melahirkan acara pertunjukan diskusi dan debat, yang dikenal dengan sebutan talkshow, tentang perkembangan demokratisasi di bawah payung Reformasi. Riuh rendah beragam pendapat. Hiruk pikuk label-label kredensial sosok, yang dulu pada masa Soeharto berkuasa mungkin tiarap hingga menyatu dengan bumi yang dipijak, meramaikan suasana.

Ada yang berlabel "bekas pemagang di Kongres Amerika Serikat", ada pula yang tampil dengan label "pakar komunikasi politik", atau "pakar hukum tata negara", "ahli politik Amerika Serikat", dan sebagainya. Sebuah keriuhan pemasaran yang semasa Soeharto mungkin kurang dikenal.

Label-label itu pun bergeser mencari bentuk seiring dengan bergeraknya Reformasi (secara lamban dan terantuk-antuk). Sosok-sosok itu riuh memosisikan diri. Ada yang mendirikan parpol, juga ada yang bikin acara parodi untuk media televisi. Partai politik (parpol) pun diproduksi dengan laju tumbuh (jumlah parpol per satuan waktu) yang luar biasa. Dan menjelang pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999, yang konon paling demokratik setelah Pemilu tahun 1955, mulai bermunculan jasa usaha konsultansi politik.

Merenungkan kilas balik singkat di atas saya coba menafsir tudingan laki-laki yang saya ceritakan di awal tulisan, saya tak bisa melepas ingatan importasi organisasi asal Amerika Serikat pada kurun yang sama, seperti National Democratic Insitute (NDI) atau International Republican Institute (IRI). Kedua organisasi itu hebatnya punya akses ke berbagai parpol untuk menyebarluaskan konsep dan model kampanye politik lewat pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan teknik kampanye. Apakah mungkin pada saat itu dilakukan kalibrasi tentang batasan-batasan tentang apa itu politik demokrasi dan berdemokrasi? Saya meragukan. Tentu ada yang lebih besar dari sekedar pelatihan-pelatihan seperti itu, seberapa pun intensifnya. Karena hegemoni pemahaman politik demokrasi dan berdemokrasi saat ini begitu kuat, mampu menembus ruang-ruang perumusan hukum, peraturan dan perundangan.

Ragam demokrasi yang kita pernah kenal di kampung-kampung, seperti musyawarah, rembukan, dan sebagainya, lenyap ditelan istilah-istilah canggih, "proporsional tertutup", "proporsional terbuka", "electoral threshold", dan sebagainya. Para politisi dan kalangan akademisi sibuk melatih moncong mereka mengucap frasa-frasa berbahasa Inggris dengan benar, serta heboh mencari padanan bahasa Indonesia-nya, atau melakukan serapan-kata secara paksa lewat ruang-ruang publik baik di media cetak maupun elektronik. Perdebatan murahan karena terputus dengan kenyataan hidup rakyat kebanyakan yang bergerak lepas tanpa kehadiran Negara. Karena saat itu Negara sedang dalam proses konsepsi-ulang.

Yang menarik bagi saya, justru gerakan-gerakan alter-ego kegagalan Negara yang didorong oleh berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) sebelum Soeharto lengser, seperti perburuhan, Hak-hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan hidup, gender, dan sebagainya, lenyap dilanda kebijakan-kebijakan ledakan-besar (big-bang policies), salah satunya adalah otonomi daerah, kebebasan dan kemerdekaan pers, serta pemilu, pada masa-masa awal Reformasi. Bahkan beberapa aktivis ornop terserap ke dalam pusaran-pusaran utama kebijakan ledakan-besar itu. Disebut ledakan-besar karena muncul secara cepat, tanpa telaah dan analisis dampak dan respon publik apabila kebijakan tersebut diterapkan. Publik atau khalayak mungkin tidak peduli, tetapi kepala-kepala daerah serta barisan elitnya dengan cerdas dan tangkas menelikung kebijakan-kebijakan ledakan-besar tersebut. Rezim rente perijinan penggunaan lahan untuk berbagai sektor investasi menjadi salah satu siasat elit daerah, yang terbukti kemudian memperburuk dan mempercepat kemerosotan status keselamatan rakyat, daya-pulih produksi dan konsumsi rakyat, serta daya-pulih fungsi-fungsi alam. Dan semua terjadi lewat koridor-koridor mekanisme bernegara yang disebut demokratik.

"Anda tidak demokratis!" Tuding laki-laki itu menanggapi pandangan saya yang berbeda dari dia, yang tidak percaya tentang konsep demokrasi yang sudah dianggap taken for granted.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.