Bagi Prabowo Subianto, pihak yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) adalah teroris, kelompok radikal yang membuat huru-hara, dan mereka yang mengancam rakyat yang lebih luas. Sambil mengklaim dirinya yang mantan prajurit, segala tindakan akan dia lakukan demi melawan para teroris, mereka yang meracik dan mengebom. Saya terkejut luarbiasa. Beliau tidak bisa membedakan pelanggaran HAM dengan tindak terorisme dan kriminal. Dan bagi dirinya, bertindak atas nama Negara untuk kepentingan rakyat lebih luas dengan menanggulangi para teroris, pengebom dan pembuat huru-hara adalah tindakan menegakkan HAM. Saya terkejut sekaligus kasihan, saat mengetahui beliau tidak paham bahwa pelanggaran HAM menyangkut pihak yang memiliki kekuasaan besar, baik politik maupun kapital finansial, melanggar hak-hak dasar mereka yang kekuasaannya sangat kecil. Itulah yang saya dan sebagian besar rakyat Indonesia tonton di layar kaca pada Debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2014 antara pasangan Prabowo-Hatta dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tabungan politiknya selama sepuluh tahun ternyata lebih mengedepankan tampilan luar, bukan kualitas isi pengetahuan apalagi rekam-jejak keterlibatannya dalam menangani tekanan kehidupan tak berkesudahan yang dihadapi rakyat. Para pendukungnya, termasuk orang yang disebut sebagai pakar komunikasi politik, Efendi Gazali, mengatakan agar Jokowi-Jusuf Kalla menghentikan penggunaan isu pelanggaran HAM dalam debat mendatang. "Isu HAM sudah mati di malam debat." Terlepas apakah yang dikatakan Efendi benar untuk tidak mengulangi penggunaan isu yang sama dalam aturan main debat Pilpres, persoalan pelanggaran HAM di Indonesia tidak boleh didangkalkan semata-mata sebagai isu perdebatan, dan tidak boleh berhenti diperbincangkan, digali, agar diperoleh massa kritis yang sangat kuat untuk pengurangannya secara drastik. Di sinilah tampak dangkalnya logika teknikalitas kepakaran seorang akademisi yang terputus dari kenyataan sehari-hari.
Seluruh cerita tentang proses berdemokrasi adalah tentang mimpi, gagasan, pikiran, tindakan dan kerja-kerja kongkret mengedepankan jaminan Negara atas keselamatan rakyat, jaminan atas produksi-konsumsi rakyat yang berdaya-pulih, serta keberlanjutan dan daya-pulih fungsi-fungsi alam. Dan demokrasi adalah tentang kemampuan mendengar dan menyimak suara rakyat. Bukan tentang gaya patriotik, heroik dan simbolik membela simbol Negara yang tidak segan-segan mengorbankan keselamatan rakyat, merontokkan daya-pulih produksi-konsumsi rakyat, serta mengeruk kekayaan alam secara berlebihan yang mendorong kemerosotan keberlanjutan dan daya-pulih fungsi-fungsi alam. Pemahaman ini bukan hal yang sulit, karena ketiga hal yang saya sebut secara konsisten itu adalah perwakilan paling sederhana dari status kemerosotan kualitas hidup rakyat Indonesia. Dan itu mesti dituntaskan menggunakan nilai-nilai demokrasi yang didorong tindakan demokratik pengurus Negara di bawah kepemimpinan yang memiliki kepekaan dan solidaritas terhadap kenyataan hidup rakyat yang masih terpuruk.
Jelas terlihat, HAM harus terus diusung dan disuarakan di ruang publik, seluas-luasnya. Pemimpin mesti paham bahwa pelanggaran HAM dimulai karena adanya kuasa yang terlalu besar dan tidak bisa dikendalikan oleh rakyat. Khusus di Indonesia, pelanggaran HAM senantiasa bersembunyi di ketiak heroisme dan patriotisme abdi negara yang mengatasnamakan kepentingan lebih luas.
Pemahaman yang jernih tentang perbedaan mendasar antara HAM, terorisme, dan kriminalitas, termasuk kejahatan korupsi, akan membuat pemimpin dan jajaran pejabat pelayan publik menyadari bahwa kebijakan Negara harus melindungi mayoritas rakyat yang kekuasaannya lebih terbatas serta mengatur dan mengendalikan minoritas elit yang kekuasaan dan jangkauan kuasanya lebih besar. Bukan seperti yang dikatakan Hatta Radjasa saat debat, "Mayoritas melindungi minoritas, dan minoritas menghormati mayoritas...." Saya tidak terkejut dengan usaha permainan-kata yang sekedar tampil itu. Keduanya kelihatannya sudah mentok dalam mencerna dengan tepat apa itu demokrasi dan berdemokrasi. Selesai....
Comments
Post a Comment