Skip to main content

Kampanye Pilpres: Pendidikan Politik?

Lelah juga dengan omong kosong bahwa pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden, adalah pendidikan politik bagi rakyat. Perlu didudukkan dulu apa yang disebut politik dalam konteks pernyataan di atas. Karena pada kenyataannya kehidupan rakyat lebih banyak tidak mendapat perlindungan Negara, sebuah entitas yang arsitekturnya dipercaya dibangun melalui politik. Yang terjadi justru seluruh bangun mekanisme resmi Negara di negeri ini hanya berfungsi sebagai panggung tontonan tentang gerak-gerik bernegara. Hanya sebatas gerak-gerik. Tidak lebih tidak kurang. Jadi pendidikan apa yang ditawarkan? Politik beli suara? Politik dengan pemasaran murahan lewat poster-poster menampilkan wajah tanpa konteks? Politik kemasan kata-kata kosong bertajuk visi dan misi?

Bisajadi kegelisahan dan mimpi John Lennon yang tertuang pada lirik lagu "Imagine" harus disimak dan direnungkan. Jika Negara, agama dan kuasa-uang tidak dapat mendistribusikan kebahagiaan dan kegembiraan yang dapat dinikmati rakyat, kita sesungguhnya tidak membutuhkan semua formalitas yang dipersepsikan sebagai suatu fakta-tak-terbantahkan bernama Negara, agama dan kuasa-uang itu. Kenyataannya, rakyat yang hidup didera oleh krisis memang tidak membutuhkan Negara. Karena kehadiran Negara justru menyengsarakan. Atas nama pembangunan rakyat harus minggir dan tersingkir dari ruang hidupnya. Pembangunan jalan raya, contohnya, dirancang untuk melayani kebutuhan percepatan dan perluasan industri, bukan membuka keterpencilan rakyat. Ketika jalan dibuka maka buldozer dan mesin-mesin alat berat akan hadir di kampung yang sebelumnya hidup tenteram, membongkar sawah dan ladang, bahkan rumah-rumah sederhana yang dihuni rakyat selama bergenerasi-generasi, dan memperkenalkan komoditi baru yang dikeruk dari perut bumi atau secara paksa ditanami benih-benih pada tanah yang kemampuannya sangat terbatas, untuk memenuhi kebutuhan suplai bahan mentah di pabrik-pabrik pengolah di negara maju.

Sekali lagi saya ajukan pertanyaan di awal tulisan ini, pendidikan apa yang ditawarkan kepada rakyat? Rakyat justru lebih cerdas dan tangguh dibandingkan orang-orang terdidik yang cengeng dan menikmati hidup dengan mengkonsumsi barang dan jasa industrial yang diimpor dari negara maju dimana bahan mentahnya dikeruk dari tanah di pelosok Nusantara. Dudukkan dulu konsep Negara dan bernegara. Telaah dan takarlah konsep Negara dan bernegara menggunakan status keselamatan rakyat, status daya-pulih produksi dan konsumsi rakyat serta daya-pulih fungsi-fungsi alam. Karena kemampuan ruang hidup ada batasnya. Bangun Negara dan praktik bernegara yang ada saat ini tidak berbeda dengan arahan dan praktik yang pernah diterapkan oleh negara-negara yang disebut sebagai penjajah. Selama Negara dan bernegara hadir dengan perilaku dan gerak-gerik sebagai penjajah, politik yang paling demokratik sekali pun tidak akan pernah mampu menaikkan derajat dan martabat rakyat Indonesia, yang sepanjang masa "kemerdekaan" hanya jadi penonton dari drama murahan di atas panggung-panggung politik bernama Republik Indonesia.

Apa yang saya harapkan dari Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 2014 ini? Tidak ada. Logika kita sebagai warganegara (karena saya bayar pajak meski tidak pernah menikmati pelayanan Negara secara memadai) diacak-acak secara sistematik, dipaksa mempercayai bahwa hidup kita akan selamat, produksi-konsumsi kita akan berdaya-pulih, serta fungsi-fungsi alam akan terus menjamin kehdiupan kita, jiak kita memilih satu pasang dari dua pasang orang yang menjajakan dirinya untuk dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Saya tidak menyarankan Anda untuk tidak memilih atau menjadi Golput. Tetapi saya menawarkan cara berpikir berbeda dalam menyikapi hiruk-pikuk "pesta demokrasi" yang disebut Pilpres 2014 ini. Tanya kepada kedua pasang kontestan itu:

Bagaimana Anda berempat akan menyudahi penderitaan warga korban pembangunan dan perluasan industri, seperti warga di Porong, Sidoarjo, atau mereka di kampung-kampung yang dilindas perluasan tambang batubara di Makroman, Kutai Kertanegara dan Sangatta, atau warga Riau yang setiap tahun harus menghirup asap akibat bobroknya pengelolaan lahan dan korupsi skala kolosal di sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan?

Bagaimana Anda berempat akan menyudahi kebijakan dan praktik ekspor bahan mentah ke negara-negara industri maju dan mengimpor barang-barang jadi dari negara-negara tersebut serta memaksa rakyat mengonsumsinya? Ekspor ini mencakup pula buruh-murah-tak-trampil dari kantung-kantung warga yang kehilangan kuasa dan aksesnya terhadap tanah dan kekayaan alam akibat perluasan pembangunan kawasan-kawasan komersial hingga ke kampung-kampung.

Bagaimana Anda berempat akan menyudahi pandemik korupsi yang benihnya tumbuh dari nafsu berkuasa dari orang-orang yang tekun mencari peluang dan celah hukum untuk memperkaya diri, yang senantiasa berujung pada kemerosotan status keselamatan rakyat, status daya-pulih produksi dan konsumsi rakyat serta daya-pulih fungsi-fungsi alam?

Kita tak butuh retorika. Kita butuh jawaban yang praktis. Bukan pernyataan ideologik kosong tentang kedaulatan Negara, karena konsep Negara dan bernegara Republik Indonesia ini harus ditelaah-ulang. Apa yang diwariskan para pendiri Negara bukan sesuatu yang tidak dapat dikritisi dan ditelaah-ulang. Neraca status keselamatan rakyat, status daya-pulih produksi dan konsumsi rakyat serta daya-pulih fungsi-fungsi alam adalah tiga takaran yang harus digunakan.

Comments

Popular posts from this blog

Malu, Kemaluan, Kemakluman

Orang selalu berubah. Berubah secara fisik dan mental. Orang mati pun berubah, apa pun perlakuan terhadap jasadnya. Dikremasi jadi abu. Dikbubur, maka jasad akan didekomposisi oleh bakteri-bakteri tanah. Tetapi perubahan seperti apa yang membuat kita jengkel? Bagi saya yang menjengkelkan adalah perubahan sikap dan pandangan seseorang dari sesuatu yang terlihat baik menjadi hal yang tidak baik, dengan mengabaikan kepantasan, rasa malu, kemudian berharap khalayak memakluminya.

Kerenya Bangsaku: Hanya di Mafia Sepakbola? Saya Kira Semua Hal

Menonton penggalan wawancara Aiman Wicaksono dengan pelaku suap dan pengaturan pertandingan sepakbola di Kompas TV memang membuat darah mendidih. Ada sepotong kalimat yang harusnya membuat kita semua merenung tentang diri kita, sebagai perseorangan, sebagai warganegara dari Republik Indonesia, sebagai warga bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang besar. "Mengapa bandar-bandar judi dari Malaysia, Singapura dan negara lain memilih Indonesia dan PSSI sebagai arena permainan mereka?" Tanya Aiman. Si pelaku menjawab, "Karena menurut mereka orang Indonesia itu bodoh dan rakus. Mereka maunya uang. Gampang dipermainkan."

Rakyat, Merakyat, Pro-Rakyat, Menjual Rakyat

"Tidak ada masalah dengan gayanya yang gagah menunggang kuda, naik helikopter dan mobil Lexus. Yang penting beliau pro-rakyat!" Argumen tolol seperti ini begitu konsisten disampaikan. Pro-rakyat adalah soal label. Label itu dibeli dengan biaya sangat mahal oleh orang yang seumur-umur tidak pernah merasakan hidup sebagai rakyat. Belanja yang sangat besar untuk membuat tabungan politik dilakukan dengan seksama karena lebih mudah membeli label pro-rakyat ketimbang merakyat, apalagi menjadi rakyat. Saya pun bisa memaklumi. Daripada bersandiwara dengan acting yang kedodoran, lebih baik menjadi diri sendiri. Di sini Fadli Zon benar ketika menggambarkan sosok Prabowo, "Dia itu adalah laki-laki yang jujur dan apa adanya." Tetapi yang disebut dengan 'apa adanya' bukan sesuatu yang membuat kita, sebagai warga, nyaman melihatnya.